Selasa, 20 Maret 2012

33 Film Indonesia Terpenting Dekade 2000-2009 (3)


23. Laskar Pelangi (2008, Riri Riza)
 Film ini dipenuhi oleh berbagai strategi artistik yang berada di atas rata-rata film Indonesia semasa. Pertama, adaptasinya jenial mengingat buku yang menjadi sumber film ini berisi bualan tak berplot yang maunya banyak sekali. Kedua, penggunaan anak-anak dengan logat lokal mereka menghasilkan semacam otentisitas pengalaman. Kita pun terpesona dibuatnya. Namun otentisitas semacam itu seperti juga oleh-oleh yang khas dari satu daerah: ia eksotik, mewakili sesuatu yang jauh. Tentu oleh-oleh itu penting, karena selalu bisa menjadi sarana pengungkap rasa sayang dan perhatian yang cepat dan mudah kelihatan. Dari situ, kita diingatkan akan kehangatan rasa: sesuatu yang sudah lama tak ada dalam film Indonesia. Dan memang nikmat berada di sana menikmati semacam “pesan moral” tentang kemiskinan dan pendidikan yang bisa jadi tetap penting untuk dipelihara. Namun –sebagaimana oleh-oleh– kemanisan macam ini akan lapuk jika ketika kita berharap terlalu besar darinya. (ES)

Problem terbesar film ini: menyodorkan iming-iming bahwa lawan dari kemiskinan adalah sukses pribadi dan seolah abai bahwa kemiskinan di negeri kita lebih bersifat struktural, akibat kezaliman sistem/Negara: lawannya adalah keadilan. Kelebihan utama film ini: ia hadir tepat waktu, saat masyarakat butuh pelipur, harapan –bahkan jika ia hakikatnya hanya iming-iming– agar bisa membayangkan bahwa keadaan bisa diubah. Dan faktanya, ini jadi film Indonesia terlaris sepanjang masa, sejauh ini. Ini fakta yang tak bisa tidak telah membuat film ini penting, sebuah penutup dekade yang manis dari Mirles Production dan awal bagi Mizan Production. (HD)


24. Legenda Sundel Bolong (2008, Hanung Bramantyo)

Tak banyak film horor Indonesia yang diproduksi sebagai film dengan “kelas A” alias bermutu teknik dan cerita yang tinggi. Di antara yang sedikit itu, Legenda Sundel Bolong ini jadi menonjol lantaran pencapaian tekniknya di atas rata-rata. Selain cerita yang solid dan penyutradaraan yang matang, patut dicatat eksperimen kecil-kecilan pada departemen kamera yang membuat gambar dalam film ini seperti mengajak kita ke dimensi yang lain, yang tak kita kenali. Segar rasanya menyaksikan inovasi semacam ini dalam film Indonesia. Dan ini yang penting: film ini bukan sekadar menakut-nakuti, tapi memang seram! (ES)


25. 6:30 (2006, Rinaldi Puspoyo)

Film ini sepenuhnya ber-setting luar negeri, yaitu kota San Fransisco, tapi Indonesia justru terasa sekali di sini. Itu lantaran “pulang” bagi karakter utama film ini, Alit, adalah sesuatu yang amat penting. Juga ketika ultima itu tak tercapai dan kematian memaksa Alit melupakan cita-citanya makan gudeg tiap hari. Akankah ia menanamkan akar di negeri jauh, Amerika Serikat, seperti sahabatnya Bima, yang membaca kamus untuk mengisi waktu ketika sedang di kakus? Jika tidak, kenapa ia membakar skuternya di tepi pantai dalam sebuah perpisahan seakan siap untuk sebuah langkah yang sama sekali baru? Inilah suara dari generasi baru Indonesia. Luar negeri, bagi generasi di film ini, bukanlah sarana naik kelas sosial atau tempat pelarian diri, tetapi semacam lokasi lain saja dari kehidupan tanpa batas. Dengan penceritaan yang jernih dan apa adanya, film ini bukan saja berhasil mewakili sebuah generasi di millennia yang baru, tetapi menegaskan bahwa Indonesia –negeri mereka– begitu menentukan bagi hidup mereka tanpa perlu ditanya. (ES)

Apakah arti “dalam” dan “luar”? Film ini tentang beberapa anak muda Indonesia yang sedang di luar negeri, berkutat dengan persoalan-persoalan di dalam diri mereka sendiri. Film ini merekam kaburnya batas-batas –bahwa lokasi kultural, masalah identitas, adalah persoalan nyata di sebuah dunia individualistik: persoalan yang tak harus mewujud dalam bentuk wacana-wacana gagah, tapi (lebih sering) dalam bentuk kesulitan menjawab pertanyaan sederhana, “Siapa saya? Mau apa, saya?” Tidakkah kaudengar sebuah tanya berbisik di balik galau itu: Apa makna saya? Film ini adalah sebuah bisik semacam itu, di dalam generasinya. (HD)

Sangat mudah mengabaikan film ini. Menganggapnya sebuah karya yang mentah, belum matang dan dangkal. Tapi, jika bersedia lebih membuka kemungkinan, film ini benar-benar menemukan sebuah wilayah baru yang terus menunggu untuk dijelajahi. Film ini memang tentang anak muda, tapi ia juga tentang Indonesia, yang di 6:30 berhenti sebagai sekadar locus geografis, ide lama maupun balutan tradisi. Indonesia yang ini tiba-tiba menjadi sesuatu yang ‘kuat’ ada di wilayah yang tak terduga: pada ruang pencarian identitas anak-anak muda yang jauh dari Indonesia geografis; pada kerinduan tentang sesuatu (bernama Indonesia) yang menunggu didefinisikan ulang. Kemungkinan, para pembuatnya tak sadar, tapi di 6:30, Indonesia sebagai ide menjadi relevan dengan cara yang tak biasa. (KY)

Suatu kali saya ikutan setuju, bahwa ini film konyol yang dibuat oleh anak-anak Indonesia kelebihan duit tapi tak cukup banyak untuk sekedar menyewa beberapa lokasi di San Fransisco. Atau pemain lokal.  Suatu kali, setelah 5 tahun hidup di perantauan, jauh dari Indonesia, tiba-tiba saya sadar, film ini jauh dari konyol. 6:30 tepat sekali memaparkan secuil gelisah yang mungkin ada dibenak setiap perantau. Mereka bisa merasa menjadi bagian dari lingkungan yang baru, ikut tumbuh dalam cangkok budaya asing, tapi seperti Alit, Tasya dan Bima, secara tak sadar mereka tidak akan pernah bisa melupakan diri mereka sendiri, sebagai anak-anak Indonesia. 6.30 menggambarkan bahwa Indonesia tidak hanya sekedar identitas di atas kertas, tapi Indonesia juga adalah jangkar eksistensi. (AKU)


26. Catatan Akhir Sekolah (2004, Hanung Bramantyo)

Sepintas, film ini seperti hendak menampilkan gambaran manis sekolah dan anak-anak di dalamnya, tapi ternyata apa yang dicatat duet Hanung Bramantyo-Salman Aristo ini adalah sesuatu yang jujur dan nyaris belum ber-preseden dalam sejarah film Indonesia. Sekolah dan guru sebagai institusi yang disakralkan, di film ini ditelanjangi dari kedok moralitas mereka, dan kemenangan sesungguhnya adalah milik para murid belaka. Perhatikan bahwa film ini memulai penggambaran video diary bagai menyambut era Youtube sekaligus menandai perubahan besar-besaran dalam dunia audio visual kita jaman kiwari. Tak banyak yang ngeh bahwa film ini sedang mencatat banyak persoalan besar sekaligus. Salah satu film yang terlupakan. (ES)

“Gue melihat betapa banyak teman-teman gue yang banyak potensi dan keinginan, tapi ternyata tidak ada satu pun yang terealisasi, dan sekarang mereka tidak ada kabarnya. Sayang sekali”, ungkap penulis skenario Salman Aristo. Dan film  ini menangkap semangat  itu. Tak tanggung-tanggung, Hanung Bramantyo mengangkat satu gang (A3) yang cupu dan acap dicibirkan lingkungkannya—sebuah kisah yang agaknya juga dimiliki banyak pelajar dari jaman mana pun.  Tentu saja kisah from zero to hero, ada di banyak film Indonesia, tapi film ini tidak terjebak dalam klise dan masih menyenangkan untuk ditonton sebagai film remaja—romansa cinta monyet, pensi, kantin, dan aneka dinamika kehidupan di sekolah yang memungkinkan  penontonnya teringat masa-masa itu. Duet Hanung-Salman ini juga kental dengan kecintaan pada medium sinema—si Agni yang membuat film eksperimental di klub film sekolahnya, proyek film dokumenter mereka—yang mengantarkan para bintang film muda di sini untuk ke jenjang berikutnya. Dan, jangan lupakan adegan pembuka one shot 8 menit. (EI)


27.  fiksi. (2008, Mouly Surya)


Keistimewaan film ini adalah keberaniannya mengambil resiko. Sebagai seorang sutradara yang baru pertamakali membuat film, Mouly tak mengambil jalan mudah. Ia menggunakan referensi film-film Jepang yang menghadirkan kompleksitas karakter manusia yang berada di perbatasan antara dunia mimpi dan dunia nyata. Karena itulah ia menjuduli filmnya fiksi. (dengan tanda titik) sebuah penanda bagi dunia fiksi audio visual Indonesia agar mau bergelut dengan kompleksitas dan tak bermain di wilayah aman saja. Hasilnya tak sempurna, tapi keberanian mengambil jalan sulit itu membutnya patut dihargai. Siapa lagi yang berani? (ES)


28. Kambing Jantan (2009, Rudi Soedjarwo)

Raditya Dika, yang menulis cerita dan memerankan dirinya sendiri di film ini, sebuah keputusan estetik jauh dari arusutama. Inilah penegasan sifat geek dari karakter film ini. Tak heran mengingat orangtua tokoh utama film ini berkaraoke lagu Batak, Rambadia, pagi-pagi sekali sebelum mandi dan berganti pakaian. Maka film ini menegaskan tiga kategori keluarga: broken home, single parent dan model keluarga dalam Kambing Jantan: kaya, semaunya dan tampak baik-baik saja.

Itulah latar sosial sebuah borjuasi baru Indonesia yang terdadar sempurna di sini. Kelas sosial dan status elit terbentuk bukan oleh sociability dan/atau kelimpahan ekonomi, tetapi oleh kemampuan membuat kategori dan mendefinsikan kenyataan diri sendiri. Indonesia 2.0? Bukan siap atau tidak, tapi pertanyaannya: sadarkah Anda sedang menjadi bagian darinya? (ES)

Bagaimana bisa film tentang kekonyolan hidup seorang remaja tanggung masuk dalam daftar film penting satu dekade?  Mungkin mereka yang sempat menonton film ini bertanya-tanya. Sebab, adalah juga fakta beberapa penikmat film sahabat saya memutuskan walk out, tak tahan menyaksikan Kambing Jantan hingga akhir.  Tapi, bagaimana kalau kita ubah dulu pertanyaannya. Mengapa kisah kekonyolan hidup seorang remaja tanggung harus diabaikan dari daftar penting satu dekade? Bukankah dalam sinema (dan juga dalam hidup) kekonyolan juga bisa penting?

Dan Kambing Jantan, dengan tak terduga selain memperlihatkan hal “konyol” juga berhasil menempatkan diri sebagai pencatat perubahan yang tekun. Memperlihatkan dua orang tua yang berkaraoke dengan gaya super seenaknya di depan sang anak remaja, film ini memang seakan cuma memunculkan kelucuan. Tapi, dia sebenarnya tengah mencatat, dan memberi tanda. Stereotype orangtua (benar, berwibawa, lebih dewasa, lebih mengerti) dan anak (muda, tak mengerti, kurang ajar, harus dinasehati) tak laku di Kambing Jantan. Bukankah stereotype ini juga sudah tak laku di dunia nyata kita?
Diam-diam, Kambing Jantan betekun mencatat perubahan-perubahan semacam ini. Yang paling penting dan belum dilakukan film lain, Kambing Jantan mencatat invasi dunia digital dalam hidup kita. Dan Kambing Jantan mencatatnya dengan gaya. Bagi saya, ini tafsir skenario Salman Aristo paling berhasil sejauh ini. Pengaruh dunia digital yang memang kerap terasa absurd, dimunculkan sebagai “dunia riil” yang (meski boleh jadi tak mudah ditelan) mengalir dan diterima tanpa disoal. Berkah (sekaligus kutuk) dunia digital telah cukup dalam menusuk ke hidup kita, dan dari seluruh film Indonesia dekade lalu, film mana selain Kambing Jantan yang berani mencatat sekaligus merangkulnya sebagai bagian dari helaan nafas hidup sehari-hari. (KY)


29. Identitas (2009, Aria Kusumadewa)

Sebuah dunia yang jadi, walau ganjil mulanya terasa: dunia mimpi buruk Indonesia, dipotret dari sebuah pojok di Jakarta. Rumah sakit adalah horor kemiskinan Indonesia, begitu juga gang  dengan perumahan padat serta para pedagang sektor informal (kakilima) yang berdesakan. Arya Kusumadewa yang cenderung absurd-sureal membawa kepekaan hidup jalanan yang ia geluti sekian lama, dipadu dengan kecenderungan “tonjok-langsung” dari Deddy Mizwar, sang produser (ini kerjasama yang tak terduga), membuat film ini menyempal dari baik kecenderungan estetis kelas menengah yang mendominasi lanskap film nasional “bermutu”  dekade 2000-an di satu sisi dan kecenderungan komersial-tanpa-gagasan yang mendominasi bioskop kita di sisi lain. Hasilnya: film kasar, mengganggu, absurd sekaligus dekat dengan kenyataan korup di lingkungan kelas bawah Indonesia. Dan, ya: salah satu puncak seniperan film Indonesia disajikan oleh Tio Pakusadewo di sini. (HD)

Sudah sejak lama saya kehilangan kepercayaan terhadap program-program televisi di Indonesia yang seringkali dimanipulasi, dengan cara yang berlebihan. Mungkin saya sok tahu, tapi saya pernah bekerja di televisi dan menyaksikan sendiri manipulasi itu. Mulai dari program reality show hingga program berita. Sebagai orang yang berjarak dengan televisi –sudah sejak lama saya tidak memiliki/tidak menonton televisi–, saya selalu mengharapkan sebuah film yang bisa merangkum keadaan sehari-hari Indonesia dan segala masalah yang dihadapi warganya. Daripada menonton siaran televisi yang sok menyajikan realita, tapi sangat jelas dimanipulasi, lebih baik menonton film yang saya tahu memang dimanipulasi untuk menampilkan realita. Maka film Identitas karya Aria Kusumadewa ini seperti menjawab harapan saya. Karya seni manipulatif yang memaparkan realita yang terasa lebih nyata dari tayangan-tayangan televisi kita. Film ini riuh dengan para hipokrit dan oportunis, berseliweran dengan latar belakang kesemrawutan. Jelas, para pembuat film ini sedang memproyeksikan kecemasan yang mulai akut dalam masyarakat Indonesia tentang nasib Indonesia. (AKU)


30. Arisan! (2003, Nia Dinata)

Memang bukan yang pertama mengangkat tema homoseksualitas di dalam film Indonesia (sudah didahului, terutama, oleh Istana Kecantikan). Pergeseran sudut pandang menjadi sisi-dalam preferensi seksual yang masih dianggap terlarang di Indonesia itu memang menandai sebuah pergeseran dalam ekspresi gaya hidup kelas menengah Indonesia saat ini, tapi tak sampai “revolusioner” sebetulnya. Yang penting dari film ini adalah: menandai kehadiran ciri tematik Nia Dinata, politik seks di ruang privat. Kemulusan tuturan membuat tema rawan ini diterima dengan mulus juga di kalangan penonton bioskop kita –dan dilanjutkan jadi sinetron, dan tetap luput dari incaran ormas garis keras macam FPI. (HD)


31. Keramat (2009, Monty Tiwa)

Baiklah: ini pendekatan verite yang berhasil –sebuah kejutan menyenangkan dari Monty Tiwa– dengan letupan emosi yang terasa nyata sejak awal adegan si sutradara marah-marah itu. Oke, bolehlah dileceh sebagai hanya meniru-niru pendekatan visual Blairwitch Project, tapi harus dihargai tingkat kesulitan memfilmkan horor lokal yang sudah karib di kalangan penduduk Indonesia (Ratu Pantai Selatan, Nyi Blorong, Pocong juga ada) dan menjaganya agar tak jatuh jadi parodi tak sengaja, dengan pendekatan minimalis begini. Singkatnya, ini salah satu dari sedikit film horor Indonesia dekade 2000-an yang paling berhasil mewujudkan kata “seram” –sembari, seakan khas generasi pembuat film kita dekade ini, memberi komentar tentang dunia-kamera. (HD)

Menyenangkan sekali ada film horor yang benar-benar seram tapi membuat kita betah dan terus di tempat duduk, macam Keramat. Dengan demikian, bersama sedikit sekali film horor kita, film ini menyanggah anggapan bahwa semua film horor Indonesia buruk dan berseru: bukan genrenya yang jelek, tapi sineasnya. Gaya hand-held, sepertinya hampir tidak pernah dipakai sebelumnya, dengan pendekatan dokumenter-seolah-olah, lengkap dengan memakai nama sebenarnya membuat kesan dekat dengan realitas, dan karenanya memperkuat elemen yang meneror penonton. Dan tak lupa selipan pesan ramah lingkungan: “Manusia wis jahat, alam sing arep bales…”. (EI)


32. Maaf Saya Menghamili Istri Anda (2007, Monty Tiwa)


Negeri ini akrab sekali dengan pendekatan stereotip untuk cerita berlatar etnis. Pada masa Orde Baru, kita melihat bahwa hal itu menjadi sebuah katarsis, sarana pelampiasan, bagi apa yang tak bisa dinyatakan dengan baik-baik. Coba lihat kelompok lawak yang mengambil ledekan suku bangsa dan ras sebagai bahan olok-olok. Bagai sebuah morbid humor, katarsis semacam ini adalah sarana untuk melampiaskan apa yang terpendam, agar hidup sehari-hari tetap bisa berjalan wajar. Maka ketika film ini diprotes oleh suku yang digambarkannya, kita sebetulnya sedang diperingatkan akan menipisnya kemampuan kita menertawakan diri sendiri. Pada soal apa yang dulu dijuluki sebagai SARA (suku, agama, ras dan antar golongan), jangan-jangan kita sebetulnya sedang mendekati tragedi. Masuknya film ini ke dalam daftar ini adalah sebuah ajakan, bahwa bangsa ini seharusnya tetap mempertahankan selera humornya ketimbang marah-marah ketika melihat kelemahan diri sendiri. (ES)

Sekilas, komedi ini lebih pantas dianggap sebagai “film minggu ini” belaka. Modus produksinya bagian dari eksperimen syuting ekspres, dan production value-nya sendiri? Jangan-jangan lebih pantas untuk FTV. Tapi film ini sangat berhasil setidaknya di dua wilayah. Sebagai komedi, ia berhasil (meski tentu tidak mungkin 100 % penonton setuju) berkat comedic timing yang pas –sesuatu yang jarang– dan selera konten yang berada di batas nyaris konyol. Sebagai film bagi dan dari orang Indonesia, ternyata film ini justru berhasil bicara dan memetakan –tentu dengan nada komedi tadi– akar kekerasan horisontal di masyarakat kita: lahan perut dan etnisitas. Fenomena yang pernah diakui dan ditertawakan, bukan ditanggapi dengan mata membeliak marah. (IA)


33. Pocong 2 (2006, Rudi Soedjarwo)


Sebelum terjadi inflasi kisah pocong di layar bioskop, kisah mayat meloncat-loncat hidup a la Indonesia ini bisa dipakai untuk bercerita tentang masa lalu yang ingin dilupakan. Sebagaimana Dendam Pocong yang dilarang beredar oleh LSF itu, Pocong 2 menyimpan kerusuhan politik 1998 sebagai latar jauh cerita. Jika keseluruhan film dianggap sebagai metafor, maka film ini adalah sebuah gambaran tentang generasi baru urban Indonesia yang dihantui oleh sesuatu yang sudah ingin dikubur dalam-dalam. Cara bercerita yang minimalis, yang berangkat dari penghematan anggaran, jadi satu kelebihan. Tanpa banyak musik dan teknik tanam-tuai (setup dan pay-off) sebagaimana formula yang semakin klise, horor tetap berhasil dibangun dengan sempurna. (ES)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar