23. Laskar Pelangi (2008,
Riri Riza)
Film ini dipenuhi oleh berbagai
strategi artistik yang berada di atas rata-rata film Indonesia semasa. Pertama,
adaptasinya jenial mengingat buku yang menjadi sumber film ini berisi bualan
tak berplot yang maunya banyak sekali. Kedua, penggunaan anak-anak dengan logat
lokal mereka menghasilkan semacam otentisitas pengalaman. Kita pun terpesona
dibuatnya. Namun otentisitas semacam itu seperti juga oleh-oleh yang khas dari
satu daerah: ia eksotik, mewakili sesuatu yang jauh. Tentu oleh-oleh itu
penting, karena selalu bisa menjadi sarana pengungkap rasa sayang dan perhatian
yang cepat dan mudah kelihatan. Dari situ, kita diingatkan akan kehangatan
rasa: sesuatu yang sudah lama tak ada dalam film Indonesia. Dan memang nikmat
berada di sana menikmati semacam “pesan moral” tentang kemiskinan dan
pendidikan yang bisa jadi tetap penting untuk dipelihara. Namun –sebagaimana
oleh-oleh– kemanisan macam ini akan lapuk jika ketika kita berharap terlalu
besar darinya. (ES)
Problem terbesar film ini:
menyodorkan iming-iming bahwa lawan dari kemiskinan adalah sukses pribadi dan
seolah abai bahwa kemiskinan di negeri kita lebih bersifat struktural, akibat
kezaliman sistem/Negara: lawannya adalah keadilan. Kelebihan utama film ini: ia
hadir tepat waktu, saat masyarakat butuh pelipur, harapan –bahkan jika ia
hakikatnya hanya iming-iming– agar bisa membayangkan bahwa keadaan bisa diubah.
Dan faktanya, ini jadi film Indonesia terlaris sepanjang masa, sejauh ini. Ini
fakta yang tak bisa tidak telah membuat film ini penting, sebuah penutup dekade
yang manis dari Mirles Production dan awal bagi Mizan Production. (HD)
24. Legenda Sundel Bolong
(2008, Hanung Bramantyo)
Tak banyak film horor Indonesia yang
diproduksi sebagai film dengan “kelas A” alias bermutu teknik dan cerita yang
tinggi. Di antara yang sedikit itu, Legenda Sundel Bolong ini jadi
menonjol lantaran pencapaian tekniknya di atas rata-rata. Selain cerita yang
solid dan penyutradaraan yang matang, patut dicatat eksperimen kecil-kecilan
pada departemen kamera yang membuat gambar dalam film ini seperti mengajak kita
ke dimensi yang lain, yang tak kita kenali. Segar rasanya menyaksikan inovasi
semacam ini dalam film Indonesia. Dan ini yang penting: film ini bukan sekadar
menakut-nakuti, tapi memang seram! (ES)
25. 6:30 (2006, Rinaldi
Puspoyo)
Film ini sepenuhnya ber-setting
luar negeri, yaitu kota San Fransisco, tapi Indonesia justru terasa sekali di
sini. Itu lantaran “pulang” bagi karakter utama film ini, Alit, adalah sesuatu
yang amat penting. Juga ketika ultima itu tak tercapai dan kematian memaksa
Alit melupakan cita-citanya makan gudeg tiap hari. Akankah ia menanamkan akar
di negeri jauh, Amerika Serikat, seperti sahabatnya Bima, yang membaca kamus
untuk mengisi waktu ketika sedang di kakus? Jika tidak, kenapa ia membakar
skuternya di tepi pantai dalam sebuah perpisahan seakan siap untuk sebuah
langkah yang sama sekali baru? Inilah suara dari generasi baru Indonesia.
Luar negeri, bagi generasi di film ini, bukanlah sarana naik kelas sosial atau
tempat pelarian diri, tetapi semacam lokasi lain saja dari kehidupan tanpa
batas. Dengan penceritaan yang jernih dan apa adanya, film ini bukan saja
berhasil mewakili sebuah generasi di millennia yang baru, tetapi menegaskan
bahwa Indonesia –negeri mereka– begitu menentukan bagi hidup mereka tanpa perlu
ditanya. (ES)
Apakah arti “dalam” dan “luar”? Film
ini tentang beberapa anak muda Indonesia yang sedang di luar negeri,
berkutat dengan persoalan-persoalan di dalam diri mereka sendiri. Film
ini merekam kaburnya batas-batas –bahwa lokasi kultural, masalah identitas,
adalah persoalan nyata di sebuah dunia individualistik: persoalan yang tak
harus mewujud dalam bentuk wacana-wacana gagah, tapi (lebih sering) dalam
bentuk kesulitan menjawab pertanyaan sederhana, “Siapa saya? Mau apa, saya?”
Tidakkah kaudengar sebuah tanya berbisik di balik galau itu: Apa makna saya?
Film ini adalah sebuah bisik semacam itu, di dalam generasinya. (HD)
Sangat mudah mengabaikan film ini.
Menganggapnya sebuah karya yang mentah, belum matang dan dangkal. Tapi, jika
bersedia lebih membuka kemungkinan, film ini benar-benar menemukan sebuah wilayah
baru yang terus menunggu untuk dijelajahi. Film ini memang tentang anak muda,
tapi ia juga tentang Indonesia, yang di 6:30 berhenti sebagai sekadar locus
geografis, ide lama maupun balutan tradisi. Indonesia yang ini tiba-tiba
menjadi sesuatu yang ‘kuat’ ada di wilayah yang tak terduga: pada ruang
pencarian identitas anak-anak muda yang jauh dari Indonesia geografis; pada
kerinduan tentang sesuatu (bernama Indonesia) yang menunggu didefinisikan
ulang. Kemungkinan, para pembuatnya tak sadar, tapi di 6:30, Indonesia
sebagai ide menjadi relevan dengan cara yang tak biasa. (KY)
Suatu kali saya ikutan setuju, bahwa
ini film konyol yang dibuat oleh anak-anak Indonesia kelebihan duit tapi tak
cukup banyak untuk sekedar menyewa beberapa lokasi di San Fransisco. Atau
pemain lokal. Suatu kali, setelah 5 tahun hidup di perantauan, jauh dari
Indonesia, tiba-tiba saya sadar, film ini jauh dari konyol. 6:30 tepat
sekali memaparkan secuil gelisah yang mungkin ada dibenak setiap perantau.
Mereka bisa merasa menjadi bagian dari lingkungan yang baru, ikut tumbuh dalam
cangkok budaya asing, tapi seperti Alit, Tasya dan Bima, secara tak sadar
mereka tidak akan pernah bisa melupakan diri mereka sendiri, sebagai anak-anak
Indonesia. 6.30 menggambarkan bahwa Indonesia tidak hanya sekedar
identitas di atas kertas, tapi Indonesia juga adalah jangkar eksistensi. (AKU)
26. Catatan Akhir Sekolah
(2004, Hanung Bramantyo)
Sepintas, film ini seperti hendak
menampilkan gambaran manis sekolah dan anak-anak di dalamnya, tapi ternyata apa
yang dicatat duet Hanung Bramantyo-Salman Aristo ini adalah sesuatu yang jujur
dan nyaris belum ber-preseden dalam sejarah film Indonesia. Sekolah dan guru
sebagai institusi yang disakralkan, di film ini ditelanjangi dari kedok
moralitas mereka, dan kemenangan sesungguhnya adalah milik para murid belaka.
Perhatikan bahwa film ini memulai penggambaran video diary bagai
menyambut era Youtube sekaligus menandai perubahan besar-besaran dalam dunia
audio visual kita jaman kiwari. Tak banyak yang ngeh bahwa film ini
sedang mencatat banyak persoalan besar sekaligus. Salah satu film yang
terlupakan. (ES)
“Gue melihat betapa banyak
teman-teman gue yang banyak potensi dan keinginan, tapi ternyata tidak ada satu
pun yang terealisasi, dan sekarang mereka tidak ada kabarnya. Sayang sekali”,
ungkap penulis skenario Salman Aristo. Dan film ini menangkap
semangat itu. Tak tanggung-tanggung, Hanung Bramantyo mengangkat satu
gang (A3) yang cupu dan acap dicibirkan lingkungkannya—sebuah kisah yang
agaknya juga dimiliki banyak pelajar dari jaman mana pun. Tentu saja
kisah from zero to hero, ada di banyak film Indonesia, tapi film ini
tidak terjebak dalam klise dan masih menyenangkan untuk ditonton sebagai film
remaja—romansa cinta monyet, pensi, kantin, dan aneka dinamika kehidupan di
sekolah yang memungkinkan penontonnya teringat masa-masa itu. Duet
Hanung-Salman ini juga kental dengan kecintaan pada medium sinema—si Agni yang
membuat film eksperimental di klub film sekolahnya, proyek film dokumenter
mereka—yang mengantarkan para bintang film muda di sini untuk ke jenjang
berikutnya. Dan, jangan lupakan adegan pembuka one shot 8 menit. (EI)
27. fiksi. (2008, Mouly
Surya)
Keistimewaan film ini adalah
keberaniannya mengambil resiko. Sebagai seorang sutradara yang baru pertamakali
membuat film, Mouly tak mengambil jalan mudah. Ia
menggunakan referensi film-film Jepang yang menghadirkan kompleksitas karakter
manusia yang berada di perbatasan antara dunia mimpi dan dunia nyata. Karena
itulah ia menjuduli filmnya fiksi. (dengan tanda titik) sebuah penanda bagi
dunia fiksi audio visual Indonesia agar mau bergelut dengan kompleksitas dan
tak bermain di wilayah aman saja. Hasilnya tak sempurna, tapi keberanian
mengambil jalan sulit itu membutnya patut dihargai. Siapa lagi yang berani?
(ES)
28. Kambing Jantan (2009,
Rudi Soedjarwo)
Raditya Dika, yang menulis cerita
dan memerankan dirinya sendiri di film ini, sebuah keputusan estetik jauh dari
arusutama. Inilah penegasan sifat geek dari karakter film ini. Tak heran
mengingat orangtua tokoh utama film ini berkaraoke lagu Batak, Rambadia,
pagi-pagi sekali sebelum mandi dan berganti pakaian. Maka film ini menegaskan
tiga kategori keluarga: broken home, single parent dan model
keluarga dalam Kambing Jantan: kaya, semaunya dan tampak
baik-baik saja.
Itulah latar sosial sebuah borjuasi
baru Indonesia yang terdadar sempurna di sini. Kelas sosial dan status elit
terbentuk bukan oleh sociability dan/atau kelimpahan ekonomi, tetapi
oleh kemampuan membuat kategori dan mendefinsikan kenyataan diri sendiri.
Indonesia 2.0? Bukan siap atau tidak, tapi pertanyaannya: sadarkah Anda sedang
menjadi bagian darinya? (ES)
Bagaimana bisa film tentang
kekonyolan hidup seorang remaja tanggung masuk dalam daftar film penting satu
dekade? Mungkin mereka yang sempat menonton film ini bertanya-tanya.
Sebab, adalah juga fakta beberapa penikmat film sahabat saya memutuskan walk
out, tak tahan menyaksikan Kambing Jantan hingga akhir. Tapi,
bagaimana kalau kita ubah dulu pertanyaannya. Mengapa kisah kekonyolan hidup
seorang remaja tanggung harus diabaikan dari daftar penting satu dekade?
Bukankah dalam sinema (dan juga dalam hidup) kekonyolan juga bisa penting?
Dan Kambing Jantan, dengan
tak terduga selain memperlihatkan hal “konyol” juga berhasil menempatkan diri
sebagai pencatat perubahan yang tekun. Memperlihatkan dua orang tua yang
berkaraoke dengan gaya super seenaknya di depan sang anak remaja, film ini
memang seakan cuma memunculkan kelucuan. Tapi, dia sebenarnya tengah mencatat,
dan memberi tanda. Stereotype orangtua (benar, berwibawa, lebih dewasa, lebih
mengerti) dan anak (muda, tak mengerti, kurang ajar, harus dinasehati) tak laku
di Kambing Jantan. Bukankah stereotype ini juga sudah tak laku di dunia
nyata kita?
Diam-diam, Kambing Jantan betekun
mencatat perubahan-perubahan semacam ini. Yang paling penting dan belum
dilakukan film lain, Kambing Jantan mencatat invasi dunia digital dalam
hidup kita. Dan Kambing Jantan mencatatnya dengan gaya. Bagi
saya, ini tafsir skenario Salman Aristo paling berhasil sejauh ini. Pengaruh
dunia digital yang memang kerap terasa absurd, dimunculkan sebagai “dunia riil”
yang (meski boleh jadi tak mudah ditelan) mengalir dan diterima tanpa disoal.
Berkah (sekaligus kutuk) dunia digital telah cukup dalam menusuk ke hidup kita,
dan dari seluruh film Indonesia dekade lalu, film mana selain Kambing Jantan
yang berani mencatat sekaligus merangkulnya sebagai bagian dari helaan
nafas hidup sehari-hari. (KY)
29. Identitas (2009, Aria
Kusumadewa)
Sebuah dunia yang jadi, walau ganjil
mulanya terasa: dunia mimpi buruk Indonesia, dipotret dari sebuah pojok di
Jakarta. Rumah sakit adalah horor kemiskinan Indonesia, begitu juga gang
dengan perumahan padat serta para pedagang sektor informal (kakilima) yang
berdesakan. Arya Kusumadewa yang cenderung absurd-sureal membawa kepekaan hidup
jalanan yang ia geluti sekian lama, dipadu dengan kecenderungan
“tonjok-langsung” dari Deddy Mizwar, sang produser (ini kerjasama yang tak
terduga), membuat film ini menyempal dari baik kecenderungan estetis kelas
menengah yang mendominasi lanskap film nasional “bermutu” dekade 2000-an
di satu sisi dan kecenderungan komersial-tanpa-gagasan yang mendominasi bioskop
kita di sisi lain. Hasilnya: film kasar, mengganggu, absurd sekaligus dekat
dengan kenyataan korup di lingkungan kelas bawah Indonesia. Dan, ya: salah satu
puncak seniperan film Indonesia disajikan oleh Tio Pakusadewo di sini. (HD)
Sudah sejak lama saya kehilangan
kepercayaan terhadap program-program televisi di Indonesia yang seringkali
dimanipulasi, dengan cara yang berlebihan. Mungkin saya sok tahu, tapi saya
pernah bekerja di televisi dan menyaksikan sendiri manipulasi itu. Mulai dari
program reality show hingga program berita. Sebagai orang yang berjarak dengan
televisi –sudah sejak lama saya tidak memiliki/tidak menonton televisi–, saya
selalu mengharapkan sebuah film yang bisa merangkum keadaan sehari-hari
Indonesia dan segala masalah yang dihadapi warganya. Daripada menonton siaran
televisi yang sok menyajikan realita, tapi sangat jelas dimanipulasi, lebih
baik menonton film yang saya tahu memang dimanipulasi untuk menampilkan
realita. Maka film Identitas karya Aria Kusumadewa ini seperti menjawab harapan
saya. Karya seni manipulatif yang memaparkan realita yang terasa lebih nyata
dari tayangan-tayangan televisi kita. Film ini riuh dengan para hipokrit dan
oportunis, berseliweran dengan latar belakang kesemrawutan. Jelas, para pembuat
film ini sedang memproyeksikan kecemasan yang mulai akut dalam masyarakat
Indonesia tentang nasib Indonesia. (AKU)
30. Arisan! (2003, Nia
Dinata)
Memang bukan yang pertama mengangkat
tema homoseksualitas di dalam film Indonesia (sudah didahului, terutama, oleh Istana
Kecantikan). Pergeseran sudut pandang menjadi sisi-dalam preferensi seksual
yang masih dianggap terlarang di Indonesia itu memang menandai sebuah
pergeseran dalam ekspresi gaya hidup kelas menengah Indonesia saat ini, tapi
tak sampai “revolusioner” sebetulnya. Yang penting dari film ini adalah:
menandai kehadiran ciri tematik Nia Dinata, politik seks di ruang privat.
Kemulusan tuturan membuat tema rawan ini diterima dengan mulus juga di kalangan
penonton bioskop kita –dan dilanjutkan jadi sinetron, dan tetap luput dari
incaran ormas garis keras macam FPI. (HD)
31. Keramat
(2009, Monty Tiwa)
Baiklah: ini pendekatan verite
yang berhasil –sebuah kejutan menyenangkan dari Monty Tiwa– dengan letupan
emosi yang terasa nyata sejak awal adegan si sutradara marah-marah itu. Oke,
bolehlah dileceh sebagai hanya meniru-niru pendekatan visual Blairwitch
Project, tapi harus dihargai tingkat kesulitan memfilmkan horor lokal yang
sudah karib di kalangan penduduk Indonesia (Ratu Pantai Selatan, Nyi Blorong,
Pocong juga ada) dan menjaganya agar tak jatuh jadi parodi tak sengaja, dengan
pendekatan minimalis begini. Singkatnya, ini salah satu dari sedikit film horor
Indonesia dekade 2000-an yang paling berhasil mewujudkan kata “seram” –sembari,
seakan khas generasi pembuat film kita dekade ini, memberi komentar tentang
dunia-kamera. (HD)
Menyenangkan sekali ada film horor
yang benar-benar seram tapi membuat kita betah dan terus di tempat duduk, macam
Keramat. Dengan demikian, bersama sedikit sekali film horor kita, film
ini menyanggah anggapan bahwa semua film horor Indonesia buruk dan berseru:
bukan genrenya yang jelek, tapi sineasnya. Gaya hand-held, sepertinya
hampir tidak pernah dipakai sebelumnya, dengan pendekatan
dokumenter-seolah-olah, lengkap dengan memakai nama sebenarnya membuat kesan
dekat dengan realitas, dan karenanya memperkuat elemen yang meneror penonton.
Dan tak lupa selipan pesan ramah lingkungan: “Manusia wis jahat, alam sing arep
bales…”. (EI)
32. Maaf Saya Menghamili Istri
Anda (2007, Monty Tiwa)
Negeri ini akrab sekali dengan
pendekatan stereotip untuk cerita berlatar etnis. Pada masa Orde Baru, kita
melihat bahwa hal itu menjadi sebuah katarsis, sarana pelampiasan, bagi apa
yang tak bisa dinyatakan dengan baik-baik. Coba lihat kelompok lawak yang mengambil
ledekan suku bangsa dan ras sebagai bahan olok-olok. Bagai sebuah morbid
humor, katarsis semacam ini adalah sarana untuk melampiaskan apa yang
terpendam, agar hidup sehari-hari tetap bisa berjalan wajar. Maka ketika film
ini diprotes oleh suku yang digambarkannya, kita sebetulnya sedang
diperingatkan akan menipisnya kemampuan kita menertawakan diri sendiri. Pada
soal apa yang dulu dijuluki sebagai SARA (suku, agama, ras dan antar golongan),
jangan-jangan kita sebetulnya sedang mendekati tragedi. Masuknya film ini ke
dalam daftar ini adalah sebuah ajakan, bahwa bangsa ini seharusnya tetap
mempertahankan selera humornya ketimbang marah-marah ketika melihat kelemahan
diri sendiri. (ES)
Sekilas, komedi ini lebih pantas
dianggap sebagai “film minggu ini” belaka. Modus produksinya bagian dari
eksperimen syuting ekspres, dan production value-nya sendiri?
Jangan-jangan lebih pantas untuk FTV. Tapi film ini sangat berhasil setidaknya
di dua wilayah. Sebagai komedi, ia berhasil (meski tentu tidak mungkin 100 %
penonton setuju) berkat comedic timing yang pas –sesuatu yang jarang–
dan selera konten yang berada di batas nyaris konyol. Sebagai film bagi dan
dari orang Indonesia, ternyata film ini justru berhasil bicara dan memetakan
–tentu dengan nada komedi tadi– akar kekerasan horisontal di masyarakat kita:
lahan perut dan etnisitas. Fenomena yang pernah diakui dan ditertawakan, bukan
ditanggapi dengan mata membeliak marah. (IA)
33. Pocong 2 (2006, Rudi
Soedjarwo)
Sebelum terjadi inflasi kisah pocong
di layar bioskop, kisah mayat meloncat-loncat hidup a la Indonesia ini bisa
dipakai untuk bercerita tentang masa lalu yang ingin dilupakan. Sebagaimana Dendam
Pocong yang dilarang beredar oleh LSF itu, Pocong 2 menyimpan
kerusuhan politik 1998 sebagai latar jauh cerita. Jika keseluruhan film
dianggap sebagai metafor, maka film ini adalah sebuah gambaran tentang generasi
baru urban Indonesia yang dihantui oleh sesuatu yang sudah ingin dikubur
dalam-dalam. Cara bercerita yang minimalis, yang berangkat dari penghematan
anggaran, jadi satu kelebihan. Tanpa banyak musik dan teknik tanam-tuai (setup
dan pay-off) sebagaimana formula yang semakin klise, horor tetap
berhasil dibangun dengan sempurna. (ES)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar