12. 3 Doa 3 Cinta (2008,
Nurman Hakim)
Film yang otentik tentang dunia
pesantren. Dengan pendekatan yang nyaris nir-drama, film ini merangsek masuk ke
dunia dalam pesantren, yang sebetulnya bagian amat penting dunia Islam di
Indonesia. Menjadi semakin menohok lagi, ketika perlahan tapi pasti kita tahu
bahwa dunia pesantren ini harus hidup dalam dunia pasca-9/11. Yang sangat
bernilai dari film ini adalah kekukuhannya untuk menolak jadi cerita besar,
spektakular, minimal melodramatis dan penuh teriakan. Film ini berhasil dengan
“keras kepala” bertutur tentang pribadi-pribadi biasa, dalam alur peristiwa
biasa, jelas bertentangan dengan pakem-pakem sinetron yang menguasai perioda
akhir dekade ini. Karena itu, film ini justru menjadi pernyataan luar biasa
tentang kompleksitas dunia pesantren di alam modern Indonesia. (HD)
Sebuah amatan orang dalam. Film
tentang Islam dan pesantren banyak dibuat, tapi tidak dibikin oleh pembuat film
yang benar-benar santri dan paham seluk beluk wahana dan wacana di dalamnya.
Posisi Nurman Hakim,sang sutradara, yang mengalami hidup di pesantren, adalah
nilai tambah. Apalagi topiknya, terorisme dan kondisi pasca 9/11, jarang
diangkat di sinema kita. Inilah film tentang pesantren yang didominasi oleh
semangat toleransi dan kasih sayang. Inilah kisah para santri yang menghadapi
berbagai problematika hidup yang berbeda-beda. Yang menarik, kamera handy cam
dan perusahaan layar tancap turut berperan dalam dramatisasi cerita. (EI)
Film ini sebuah film kecil, tentang
hal sehari-hari. Namun karena jujur, ia berhasil sekaligus mencatat banyak
isu-isu besar, perdebatan-perdebatan besar. Yang kemudian juga harus diakui, Tiga
Doa Tiga Cinta merupakan satu dari sedikit film Indonesia belakangan yang
sutradaranya benar-benar memahami subyek filmnya. Tiga Doa berhasil
berhenti menjadi sinema pengunjung, yang seolah bertekun tentang satu subyek
namun enggan berkotor-kotor menggali. Dunia pesantren, muncul nyata, lengkap
dengan manusia-manusianya yang berhenti dari sekadar stereotype.
Persoalan terorisme, radikalisme dan
fundamentalisme yang biasanya menjadi wacana keras muncul sebagai persoalan
yang dekat, sehari-hari, dan tak mesti terkait dengan teori ini-itu. Dalam Tiga
Doa misalnya, siapapun digambarkan bisa menjadi terjebak menjadi
teroris, dan ini dengan tepat kemudian menunjukkan bahwa mereka yang jauh dari
pusat perdebatan, paling rentan menjadi korban. Ditambah kesediaan melihat para
kiai, santri dan calon kiai sebagai manusia biasa yang juga ‘mendengar’
berbagai godaan, Tiga Doa berhasil “berbisik” tentang hakikat
manusia. Tiga Doa, menunjukkan lagi betapa keindahan bisa ada pada
hal-hal yang sederhana. Dan ketika cinta pada sinema muncul dalam Tiga Doa sebagai
milik kaum marginal, lengkaplah sudah “pemihakan” Tiga Doa. Ia ingin
kembali pada publik (sinema) yang sebenarnya, bukan sekadar memuaskan yang
seolah-olah publik. (KY)
Di balik dinding-dinding pesantren,
di balik lembaran ajaran yang tertib, tersimpan impian, hasrat dan cinta. Namun
bukan berarti dosa. 3 Doa 3 Cinta mendapatkan kekuatannya dari intimnya
memori Nurman Hakim tentang dunia pesantren, sekaligus memberikan gambaran
jaringan yang mengikat kita semua. Di balik alasan ideologis, kadang yang
meruah adalah alasan sosial ekonomi yang pribadi, yang tak dapat kita hakimi
sebagai kurang penting. Sebaliknya, perang ideologis yang global bisa merusak
hidup pribadi-pribadi yang seolah-olah jauh dari pergulatan besar itu, terutama
ketika penyikapan terhadapnya reaksioner dan inkompeten. Sementara itu, hidup
terus berjalan, dan pesantren harus meneruskan tugasnya sebagai wadah tempaan.
Dan manusia-manusia yang ditempa di sana, terus hidup dengan bekal dari
pesantren yang telah menjadi bagian hidup mereka, betapapun berbedanya
bekal-bekal itu. (IA)
13. May (2008, Viva Westi)
Nama bulan di tahun 1998 itu
menyiratkan kita bahwa film ini akan bercerita tentang tragedi. Benar, tepatnya
tragedi yang itu: pemerkosaan massal terhadap etnis Cina menjelang
turunnya Soeharto. Astaga, bahkan hingga kini kita tak bisa memastikan, apa
yang sesungguhnya terjadi waktu itu. Dan kisah cinta ini berubah seketika jadi
politis, terutama ketika banyak pembuat film lain menghindar dari menatap
soal-soal besar semacam itu, alih-alih membicarakannya. Posisi politis memang
lahir dari sikap atau ketidakbersikapan. Maka May adalah sebuah
pernyataan politik lantang di tengah penghindaran terhadap soal kenegaraan,
kebangsaan dan kehidupan kolektif yang sepatutnya diurusi juga oleh pembuat
film, sebagaimana juga oleh orang dengan profesi lain. Inikah batas atas
sikap politik yang bisa ditampilkan oleh pembuat film generasi baru kita? (HD)
Tak henti-henti saya menggugat:
salah satu film Indonesia yang paling lantang –sekaligus secara indah–
berbicara tentang luka bangsa yang paling segar, ternyata lewat begitu saja di
pasaran. Dan hingga kini, tak ada indikasi ada upaya untuk meneruskan denyut
hidup film ini, misalnya lewat DVD. Tetap saja, May patut dicatat
sebagai satu dari sedikit film Indonesia yang mau bicara tentang permasalahan
yang jika dibiarkan akan membuat masyarakat ini semakin neurotik. Koda penutupnya
begitu menggetarkan: adegan yang hangat dan akrab, namun diiringi score
musik yang merindingkan bulu kuduk, sembari pandangan kita menjauh dan melihat
“gambaran besar”. Di titik itu kita tahu: ada luka yang memang masih terpendam,
bersembunyi di balik kenormalan dan wajah ramah yang dipaksakan. (IA)
14. Romeo Juliet (2009,
Andibachtiar Yusuf)
Dengan mengganti latar konflik
keluarga di Verona itu menjadi pendukung klub sepakbola Persib dan Persija,
maka jadilah Romeo & Juliet sebagai salah satu komentar paling
penting tentang dunia sepakbola, kaum muda urban, dan budaya kekerasan di
negeri bernama Indonesia. Bisa jadi banyak sekali kelemahan teknis dalam film
ini, tetapi sang sutradara amat mengerti tentang subjek yang sedang
diceritakannya, dan mengabaikan subjek itu sama seperti mengabaikan pentingnya
sepakbola dalam peradaban manusia Indonesia. Dan mengabaikan sepakbola di
negeri ini, sama saja seperti mengabaikan bagaimana Indonesia tumbuh dan
belajar bersama sebagai bangsa. Film ini memang masih sebatas pencatatan
ketimbang fiksi yang mencerahkan, tetapi inilah film yang mau repot mengunjungi
apa yang oleh banyak orang dihakimi sebagai soal pinggiran milik para perusuh
dan tukang ribut. Film ini keluar dari stereotip dan penghakiman semacam itu. (ES)
Dalam sebuah adegan di film ini,
tawuran meletup tiba-tiba dalam ruang teramat sempit sebuah mobil angkot di
Bandung. Jelas belaka dari adegan itu bahwa film ini menatap kekerasan dari dalam.
Kekerasan, seks, tribalisme, adalah tiga hal yang jarang dibongkar secara apa
adanya dalam film-film Indonesia pasca-Soeharto. Bedakanlah dengan film-film punk
wannabe ala Upi (Radit dan Jani), yang hanya penuh teriak di
permukaan, semacam “Punk-look” dalam foto iklan pakaian. Romeo
Juliet paham benar makna kekerasan, kenapa ada orang-orang yang seperti tak
bisa tidak melakukannya, dan memaksa Anda menatapnya dan bertanya-tanya: apa
artinya kata “cinta” dalam dunia “ngensbrai” dan botol dikepruk ke
kepala dalam terminal kumuh? (HD)
Kedekatannya dengan sepak bola dan
kecintaannya pada medium sinema membuat sang sutradara membuat film fiksi
panjang pertamanya mendekati realitas. Tema yang diangkat pun sangat jarang
dibahas, padahal begitu sering terlihat: fenomena fanatisme para hooligan lokal
dan kekerasan antar mereka. Keberpihakan jelas dinyatakan: cinta dan perdamaian
mengalahkan dendam dan permusuhan. Film ini juga memulai lagi tema di film
Indonesia, yang lalu diikuti beberapa epigon: olahraga, tepatnya: sepakbola!
(EI)
15. 9808 (2008,Anggun
Priambodo, Ariani Darmawan, Edwin, Hafiz, Ifa Isfansyah, Lucky Kuswandi, Otty
Widasari, Ucu Agustin, Steve Pillar Setiabudi, Wisnu Suryapratama)
Sepuluh film pendek yang bisa
berdiri sendiri menjadi lain sama sekali artinya ketika diberi payung bertajuk 10
Tahun Reformasi. Tiba-tiba saja, nama ketinggalan jaman seperti Sugiharti
Halim jadi terhubung dengan sebuah Indonesia baru ketika perjuangan berkarat
tentang menggapai identitas bisa dibicarakan terbuka – tak peduli kita siap
atau tidak. Juga kisah tentang luka yang diraba dibalik rok, menjadi cerita
pedih sebuah bangsa yang tak ingin diungkap agar tak mengorek luka lebih dalam.
Bahkan pandangan Wisnu Kucing kepada para demonstran menjadi gambaran sebuah siklus
panjang sejarah bangsa. 98:08 adalah salah satu proyek paling nyata
“menolak lupa”, sebuah adagium yang lahir dari kutipan Milan Kundera bahwa perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawaan lupa.
Maka payung kecil yang dibawa Prima Rusdi dan kawan-kawan ini berhasil
melindungi bukan hanya proyek-proyek pribadi sepuluh pembuat film di proyek
ini, tapi juga para pekerja film kita, dari “badai amnesia” yang kerap melanda
kita sebagai bangsa. Mungkin payung ini tak cukup, ia merupakan usaha paling
nyata generasi ini untuk menolak lupa. (ES)
Penafsiran kepada sebuah peristiwa
bersejarah seharusnya tidak tunggal. Masing-masing orang mempunyai persepsi dan
amatannya. Inilah yang digarisbawahi oleh 9808. Para sutradara muda berkumpul
membuat omnibus yang mengangkat salah satu isu paling krusial dalam sejarah
Indonesia: Mei 1998. Ada yang kocak dan segar macam Sugiharti Halim. Ada yang
bercerita tentang orang-orang yang saat itu sedang tidak di TKP. Bahkan Wisnu
Kucing mengangkat kisah hidupnya sendiri. Saya tidak bisa membayangkan film ini
dibuat ketika Orde Baru berkuasa. Tidak hanya film ini menonjok langsung
kekuasaan, tetapi dimungkinkannya sebuah sejarah dari kacamata individu, dengan
cara dan gaya yang personal, tidak dari satu sisi dan dimensi(EI)
16. King (2009, Ari Sihasale)
Film ini tak hanya menjadikan bulu
tangkis sebagai sentral cerita, tetapi juga menempatkan lapangan bulu tangkis
sebagai pusat kehidupan (sekaligus pusat geografis) sebuah kampung. Sebuah vantage
point yang cerdas dari sang sutradara untuk mengingatkan bahwa sukses
pribadi bisa jadi tak bermakna ketika berada di luar perjuangan komunal. Maka
kedegilan anak bernama Guntur itu menjadi gambar dari kedegilan sebuah
komunitas untuk mengaktualisasi diri. Bukan kebetulan pula ketika ternyata
prestasi internasional muncul dari kedegilan macam itu. Film ini mengingatkan
bahwa bangsa ini jadi besar karena sifat degil orang-orangnya. Juga ketika
negara absen dan komunalisme serta perusahaan partikelir akhirnya lebih banyak
berperan dalam menentukan kehidupan kolektif kita. (ES)
Jika Denias terjebak pada
paradigma “pendidikan sebagai pil ajaib”, King jauh lebih jujur. Lewat
film keduanya dari serentetean film yang sengaja mengeksplorasi yang
non-Jakarta, Ari Sihasale memberikan gambaran tentang kecintaan terhadap bangsa
yang bersahaja, dengan cara masing-masing, dan sangat berbasis komunitas. Dalam
kasus ini, sebuah desa di kaki gunung Ijen yang menggilai bulutangkis. Mungkin
sebagai sarana eskapisme, mungkin juga sebagai sarana kebanggaan. Masalah yang
timbul dari ketegangan antara kehendak pribadi versus keluarga dan komunitas
menjadikan King terasa “sangat Indonesia”. Dan toh, dari interaksi
seperti itulah muncul prestasi-prestasi Indonesia. Sekaligus, dengan
penggambaran yang pragmatis dan bahkan mungkin sambil lalu, tergambar kekuatan
kedua King dibanding Denias: sebuah pengakuan bahwa negara ini
tak memadai dalam mengapresiasi kecintaan masyarakatnya sendiri. (IA)
17. Saia (2009, Djenar Maesa
Ayu)
Seperti kata sutradara John Waters,
“I wonder what voyeurs do before cinema”, film ini mengembalikan esensi
sinema sebagai kegiatan seorang pengintip. Maka jangan tertipu oleh isi film
yang adegan seks melulu. Karena Jenar sedang mengganggu kita saja dengan esensi
medium film, medium yang sudah terlalu banyak diterima tanpa pertanyaan lagi.
Dengan begitu, posisi kita sebagai penonton, seharusnya turut terganggu. Inilah
film yang bercerita tentang logika tubuh minus erotika. Dengan menyaksikan
tubuh yang berontak dan punya logikanya sendiri terhadap kekerasan dan seks,
kita menyaksikan semacam cerita tanpa plot dan semacam struktur tanpa
pembabakan dengan menahan atau menghela napas juga, selayaknya sedang menonton
film drama atau laga. Tapi janganlah tertipu pada orgasme-orgasme palsu macam
itu. Karena kamera, dan hanya kamera, yang menentukan siapa saya dan siapa ia
yang sedang kita tonton itu. Ternyata, lewat film panjang kedua Jenar ini, kita
diberi senyum di ujung film: betapa rapuhnya kenyataan. Sialan! (ES)
Bisa dimaklumi jika penonton (yang
sangat terbatas, sayangnya) cenderung menganggap film ini sebagai “film tubuh”.
Saya pernah menulis panjang lebar, bahwa ini “film kamera”. Oh, tentu
seks hadir sangat eksesif, dan itu sendiri pastilah mengandung pemaknaan
tertentu. Tapi perlu dicatat: seks di sini tak dipandang dengan ketakjuban anak
remaja yang masih cekikikan berkesperimen dengan tubuh karena merasa
sedang melanggar sebuah tabu –seks bukan poin, tapi sekadar pintu masuk. Di
titik ini, Saia (dan Djenar) melesat jauh meninggalkan masalah-masalah
moral (dan moralisasi) seks: ada soal lain yang lebih penting –kita hidup dalam
sebuah dunia visual yang tak terperi. Di titik ini, Saia jadi
pernyataan: dunia sedang berubah, dan definisi kenyataan semakin tak mudah.
(HD)
18. Pintu Terlarang (2009,
Joko Anwar)
Joko Anwar memperlihatkan bahwa film
Indonesia bersaing di arena yang sama dengan film-film populer dunia. Joko
sangat trampil menekuk dan melipat seenaknya cerita yang ia buat untuk efek
yang memang ia harapkan sejak semula. Ia bagai bisa mengkriya dunia yang lain
sama sekali. Film ini memang showcase Joko, bahwa ia bisa seperti
Brillante Mendoza yang bisa jadi sutradara terbaik bahkan ketika bersaing
dengan Quentin Tarantino, Ang Lee dan Pedro Almodovar. Atau ia akan dapat
kesempatan seperti Guillermo DelToro yang memberi tawaran pada pusat film
dunia. Namun saya memang masih menunggu Joko berevolusi, makanya saya tidak
senang dulu. Joko, bagi saya, belum punya materi yang bikin deg-degan seperti
nonton slum pornography-nya Mendoza. Belum juga punya materi se-nyamleng
Pan’s Labyrinth-nya DelToro. Lagian, seleranya masih kelewat
canggih untuk bisa membuat penonton Indonesia – seperti kata-katanya – “going
gaga“. Saya masih menunggu, tapi rasanya penantian saya tak akan lama. (ES)
Film ini hanya bisa lahir dari
sebuah generasi yang sepenuhnya (audio-)visual, dan hanya hendak bicara pada
generasi itu pula. Tak bisa tidak, ia (atau seluruh kekaryaan Joko Anwar
–kebetulan ini yang terbaiknya) jadi sebuah tanda dalam sejarah sinema
Indonesia: bahwa telah tumbuh dewasa generasi yang memandang bahwa realitas adalah
realitas kamera. (HD)
19. Mereka Bilang Saya Monyet
(2007, Djenar Maesa Ayu)
Manusia Indonesia dalam film ini
lahir dari sebuah kenyataan pahit yang dikunyah perlahan tanpa sungguh-sungguh
akan ditelan. Dan celakanya yang pahit itu belum tentu obat. Apa mau dikata?
Terlalu banyak tragedi dipelihara dan menentukan siapa diri kita, baik sebagai
pribadi atau pun dalam kehidupan bersama. Maka dengan semacam kecengengan
remaja yang menyalahkan dunia akan nasib malang diri sendiri, film ini membuat
kita bergidik akan kemungkinan baru kompleksitas manusia Indonesia. Dan beda
dengan jaman Sjumandjaja ketika kompleksitas itu dibentuk oleh modernisasi,
ideologi negara atau borok birokrasi, kompleksitas jaman kini sumbernya dari
sejarah diri sendiri: dari lintah yang dimasukkan ke dalam bak mandi atau
paksaan menjilati muntah sendiri. Kompleksitas itu juga dari berasal kamera,
dari semacam kesadaran bahwa narasi fiksi tak selalu membangun ilusi. Djenar
Maesa Ayu –serupa dengan Joko Anwar– menunjukkan dengan teramat jitu,
bahwa “pesan moral film” tak penting sama sekali bagi penonton ketimbang
menyodori mereka kesadaran akan kehadiran kamera. (ES)
Film debut Djenar Maesa Ayu, penuh
kekurangan, tapi jadi salah satu tanda penting masa depan sinema kita.
Karakter-karakter dalam film ini bergerak seperti boneka konsep, film ini
dingin dan nyaris klinis –tak ada emosi “nyata” dalam tragedi pribadi-pribadi
di sini. Tapi, yang sangat berharga dari film ini: asyik-masyuknya meluaskan
kemungkinan penciptaan dunia oleh kamera –bahwa dengan kamera, kau bisa
menciptakan realitas apa pun. Bukan sekadar realitas fantastik yang
dicipta dengan teknologi CGI (yang kini pasaran itu), tapi
realitas-fiksional yang mampu menekuk-nekuk waktu. Ini komentar yang hanya
jelas sehubungan dengan adegan penutup film ini. Yang segera patut dicatat dari
pemaknaan ini: Djenar menekuk-nekuk waktu dan “realitas”, dengan modus film
digital yang tak berbujet mahal. Satu lagi bukti bahwa gagasan lebih penting
daripada alat. (HD)
Mereka Bilang Saya Monyet
mungkin film personal. Tapi keberhasilan utama Djenar Maesa Ayu dalam membuat
film ini terletak pada pemahamannya terhadap pokok masalah. Hubungan
benci-cinta seorang perempuan dengan ibunya ini tidak diramu dengan
asal-asalan. Hubungan psikologis ibu-anak bukan hal yang mudah untuk didalami.
Salah sedikit, film seperti ini bisa terjerumus jadi film melodramatik yang
berlebihan. Tapi, Djenar tahu betul apa yang ingin disampaikan. Berangkat dari pemahaman
itu, terlihat jelas, Djenar tidak canggung mengarahkan karakter-karakter dalam
filmnya dan terlihat tidak terbata-bata mengeksplorasi hubungan tokoh utamanya
dengan orang-orang disekelilingnya, dan terutama dengan ibunya. Film ini
bukannya tanpa cacat. Tapi dengan visi yang jelas itu, tidak heran, Djenar bisa
dengan mulus merangkai sekuen-sekuennya hingga penonton percaya –setidaknya
saya percaya– pada apa yang dihadirkan diatas layar. Dengan cara yang subtil
pula, Djenar dengan entengnya bermain dengan persepsi penonton –yang sudah
percaya– sambil disisi lain membiarkan penonton mengalami ‘blackout’ sejenak.
Adanya visi dan pemahamannya yang mendalam terhadap masalah inilah yang saya
rasa sulit ditemukan dalam film-film Indonesia yang ada sekarang. (AKU)
20. Ada apa dengan Cinta?
(2002, Rudi Soedjarwo)
Film, sering kali, adalah perayaan
terhadap youth culture dan youth culture membutuhkan film yang
membantu mendefinisikan diri mereka. Keduanya punya saling ketergantungan abadi
yang mungkin tumbuh sejak awal sejarah medium ini. Dan pada setiap jaman, ada
film-film yang menjadi penanda bagi sebuah youth culture yang sedang
tumbuh. Bagi Indonesia millennium kini, penanda itu adalah film ini. Lihat
bagaimana ciuman di bandara jadi penting bagi koran yang terbit di Amerika
seperti New York Times. Atau lihat bagaimana buku skenario biografi
penyair Chairil Anwar jadi barang tentengan tapi tak pernah dibaca dan
puisi dalam buku ini jadi gaya hidup baru – sekalipun artifisial. Semua
disaksikan oleh para penonton usia muda di multiplex di mal-mal mewah. Kisah
cinta dalam film ini mungkin biasa-biasa saja, tapi film ini dan penontonnya
sedang sama-sama menandakan sebuah generasi yang baru, sebuah Indonesia yang
baru. (ES)
“Saya tidak percaya dikotomi film art
dan komersial. Yang ada hanyalah film bagus dan film jelek,” ungkap Mira
Lesmana, sang produser. Dan AADC, selain Petualangan Sherina, adalah
bukti awal pernyataan itu. Sebuah film genre seputar cinta remaja yang tidak
berat, mudah dinikmati, tapi tak kehilangan bobotnya dan tidak lebai. Tak lupa
mereka menyisipkan nilai dan pesan, seperti “korban Reformasi” dan KDRT. Inilah
film yang menjadi prototipe drama romantis anak sekolahan yang melahirkan
banyak epigon, tapi tak banyak yang mengandung idealisme. (EI)
21. Janji Joni (2005, Joko
Anwar)
Film berkait erat dengan kota, dan Janji
Joni adalah film Indonesia paling jelas dalam soal ini. Film –dan
penontonnya– dirayakan dengan demikian tulus dan meriah oleh film ini, dan kota
dijelajahi hingga ke ketiaknya tanpa penghakiman sama sekali. Maka bisa jadi
inilah film yang menandai sinema Indonesia baru, sebagai sebuah bentuk
kesadaran penuh kaum urban terhadap medium milik mereka sekaligus bersikap sebodo
teuing terhadap segala pandangan mapan tentang film dan sinema – dan juga
otoritas sosial budaya yang sejak lama ada. Tidak kebetulan jika bentuk cerita
yang disajikan adalah petualangan. Dengan irama cepat (fast-pace), film
ini telah membawa cara tutur kontemporer film kita – yang dekat dengan
Hollywood sejak Petualangan Sherina – merambah wilayah-wilayah genre yang
universal. Dengan pendekatan “film kejar-kejaran” alias car-chase
sebagaimana film-film Amerika, Janji Joni menandai sebuah cara tutur baru
generasi yang sadar genre ini sekaligus meletakkan semacam platform baru bagi
cara bersikap sineas Indonesia terhadap warisan sejarah film dunia. (ES)
Kecintaan Joko Anwar pada medium
sinema terlihat kental di film ini. Dengan ringan, Joko mengungkapkan bagaimana
pengaruh film terhadap “realitas” (dan bukan sebaliknya), filmmaking dan
distribusi, pemetaan sosiologis jenis-jenis penonton, hingga profesi si Joni
sang pengantar film. Janji Joni juga menambah jumlah film yang “enak
untuk dinikmati,menghibur , tapi tidak asal dibuatnya”. (EI)
22. Ketika (2004, Dedi
Mizwar)
Dengan logika terbalik, yaitu ketika
kehidupan bersama sudah sempurna, film ini jadi sebuah parodi terbaik mengenai
Indonesia baru, Indonesia yang dipandang dari kacamata pembaharuan hukum dan
politik yang melandasi perubahan besar di tahun 1998. Dengan mengedepankan
utopia sebagai latar belakang cerita, Dedi Mizwar dan penulis skenario Musfar
Yasin berhasil berteriak lantang tentang agenda besar politik dan hukum di
negeri ini tanpa kenyinyiran sama sekali. Alih-alih, ia berhasil mengajarkan political-correctness
dengan cara santai bak Abu Nawas, keunggulan utama Dedi Mizwar yang tak
tertandingi pembuat film Indonesia lainnya pada segala jaman. Sejauh ini, Ketika-lah
yang paling berhasil dalam hal ini. (ES)
Sebuah komedi hitam yang satir bahkan
tajam dan nyinyir tentang korupsi. Lepas dari mutu sinematografi yang
pas-pasan, film ini tampaknya akan selalu bergaung dengan kondisi negeri
ini. Lihat saja, KKN ada di mana-mana, dari Bank Century hingga Gayus Tambunan.
Karenanya, merenungkan dunia fantasi yang mengandaikan ketegasan aparat dalam
menumpas para tikus kantor itu begitu penting. Dan, ah ya, reuni penting Deddy
Mizwar dan Lidya Kandow! Film ini, selain film-film lainnya, tentu adalah bukti
betapa pentingnya Musfar Yasin di kancah penulisan skenario negeri ini (EI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar