Selasa, 20 Maret 2012

33 Film Indonesia Terpenting Dekade 2000-2009 (2)


12. 3 Doa 3 Cinta (2008, Nurman Hakim)

Film yang otentik tentang dunia pesantren. Dengan pendekatan yang nyaris nir-drama, film ini merangsek masuk ke dunia dalam pesantren, yang sebetulnya bagian amat penting dunia Islam di Indonesia. Menjadi semakin menohok lagi, ketika perlahan tapi pasti kita tahu bahwa dunia pesantren ini harus hidup dalam dunia pasca-9/11. Yang sangat bernilai dari film ini adalah kekukuhannya untuk menolak jadi cerita besar, spektakular, minimal melodramatis dan penuh teriakan. Film ini berhasil dengan “keras kepala” bertutur tentang pribadi-pribadi biasa, dalam alur peristiwa biasa, jelas bertentangan dengan pakem-pakem sinetron yang menguasai perioda akhir dekade ini. Karena itu, film ini justru menjadi pernyataan luar biasa tentang kompleksitas dunia pesantren di alam modern Indonesia.  (HD)

Sebuah amatan orang dalam. Film tentang Islam dan pesantren banyak dibuat, tapi tidak dibikin oleh pembuat film yang benar-benar santri dan paham seluk beluk wahana dan wacana di dalamnya. Posisi Nurman Hakim,sang sutradara, yang mengalami hidup di pesantren, adalah nilai tambah. Apalagi topiknya, terorisme dan kondisi pasca 9/11, jarang diangkat di sinema kita. Inilah film tentang pesantren yang didominasi oleh semangat toleransi dan kasih sayang. Inilah kisah para santri yang menghadapi berbagai problematika hidup yang berbeda-beda. Yang menarik, kamera handy cam dan perusahaan layar tancap turut berperan dalam dramatisasi cerita. (EI)

Film ini sebuah film kecil, tentang hal sehari-hari. Namun karena jujur, ia berhasil sekaligus mencatat banyak isu-isu besar, perdebatan-perdebatan besar. Yang kemudian juga harus diakui, Tiga Doa Tiga Cinta merupakan satu dari sedikit film Indonesia belakangan yang sutradaranya benar-benar memahami subyek filmnya. Tiga Doa berhasil berhenti menjadi sinema pengunjung, yang seolah bertekun tentang satu subyek namun enggan berkotor-kotor menggali. Dunia pesantren, muncul nyata, lengkap dengan manusia-manusianya yang berhenti dari sekadar stereotype.

Persoalan terorisme, radikalisme dan fundamentalisme yang biasanya menjadi wacana keras muncul sebagai persoalan yang dekat, sehari-hari, dan tak mesti terkait dengan teori ini-itu. Dalam Tiga Doa misalnya, siapapun digambarkan bisa menjadi terjebak menjadi teroris, dan ini dengan tepat kemudian menunjukkan bahwa mereka yang jauh dari pusat perdebatan, paling rentan menjadi korban. Ditambah kesediaan melihat para kiai, santri dan calon kiai sebagai manusia biasa yang juga ‘mendengar’ berbagai godaan, Tiga Doa berhasil berbisik” tentang hakikat manusia. Tiga Doa, menunjukkan lagi betapa keindahan bisa ada pada hal-hal yang sederhana. Dan ketika cinta pada sinema muncul dalam Tiga Doa sebagai milik kaum marginal, lengkaplah sudah “pemihakan” Tiga Doa. Ia ingin kembali pada publik (sinema) yang sebenarnya, bukan sekadar memuaskan yang seolah-olah publik. (KY)

Di balik dinding-dinding pesantren, di balik lembaran ajaran yang tertib, tersimpan impian, hasrat dan cinta. Namun bukan berarti dosa. 3 Doa 3 Cinta mendapatkan kekuatannya dari intimnya memori Nurman Hakim tentang dunia pesantren, sekaligus memberikan gambaran jaringan yang mengikat kita semua. Di balik alasan ideologis, kadang yang meruah adalah alasan sosial ekonomi yang pribadi, yang tak dapat kita hakimi sebagai kurang penting. Sebaliknya, perang ideologis yang global bisa merusak hidup pribadi-pribadi yang seolah-olah jauh dari pergulatan besar itu, terutama ketika penyikapan terhadapnya reaksioner dan inkompeten. Sementara itu, hidup terus berjalan, dan pesantren harus meneruskan tugasnya sebagai wadah tempaan. Dan manusia-manusia yang ditempa di sana, terus hidup dengan bekal dari pesantren yang telah menjadi bagian hidup mereka, betapapun berbedanya bekal-bekal itu. (IA)


13. May (2008, Viva Westi)

Nama bulan di tahun 1998 itu menyiratkan kita bahwa film ini akan bercerita tentang tragedi. Benar, tepatnya tragedi yang itu: pemerkosaan massal terhadap etnis Cina menjelang turunnya Soeharto. Astaga, bahkan hingga kini kita tak bisa memastikan, apa yang sesungguhnya terjadi waktu itu. Dan kisah cinta ini berubah seketika jadi politis, terutama ketika banyak pembuat film lain menghindar dari menatap soal-soal besar semacam itu, alih-alih membicarakannya. Posisi politis memang lahir dari sikap atau ketidakbersikapan. Maka May adalah sebuah pernyataan politik lantang di tengah penghindaran terhadap soal kenegaraan, kebangsaan dan kehidupan kolektif yang sepatutnya diurusi juga oleh pembuat film, sebagaimana juga oleh orang dengan profesi lain.  Inikah batas atas sikap politik yang bisa ditampilkan oleh pembuat film generasi baru kita? (HD)

Tak henti-henti saya menggugat: salah satu film Indonesia yang paling lantang –sekaligus secara indah– berbicara tentang luka bangsa yang paling segar, ternyata lewat begitu saja di pasaran. Dan hingga kini, tak ada indikasi ada upaya untuk meneruskan denyut hidup film ini, misalnya lewat DVD. Tetap saja, May patut dicatat sebagai satu dari sedikit film Indonesia yang mau bicara tentang permasalahan yang jika dibiarkan akan membuat masyarakat ini semakin neurotik. Koda penutupnya begitu menggetarkan: adegan yang hangat dan akrab, namun diiringi score musik yang merindingkan bulu kuduk, sembari pandangan kita menjauh dan melihat “gambaran besar”. Di titik itu kita tahu: ada luka yang memang masih terpendam, bersembunyi di balik kenormalan dan wajah ramah yang dipaksakan. (IA)


14. Romeo Juliet (2009, Andibachtiar Yusuf)
Dengan mengganti latar konflik keluarga di Verona itu menjadi pendukung klub sepakbola Persib dan Persija, maka jadilah Romeo & Juliet sebagai salah satu komentar paling penting tentang dunia sepakbola, kaum muda urban, dan budaya kekerasan di negeri bernama Indonesia. Bisa jadi banyak sekali kelemahan teknis dalam film ini, tetapi sang sutradara amat mengerti tentang subjek yang sedang diceritakannya, dan mengabaikan subjek itu sama seperti mengabaikan pentingnya sepakbola dalam peradaban manusia Indonesia. Dan mengabaikan sepakbola di negeri ini, sama saja seperti mengabaikan bagaimana Indonesia tumbuh dan belajar bersama sebagai bangsa. Film ini memang masih sebatas pencatatan ketimbang fiksi yang mencerahkan, tetapi inilah film yang mau repot mengunjungi apa yang oleh banyak orang dihakimi sebagai soal pinggiran milik para perusuh dan tukang ribut. Film ini keluar dari stereotip dan penghakiman semacam itu. (ES)

Dalam sebuah adegan di film ini, tawuran meletup tiba-tiba dalam ruang teramat sempit sebuah mobil angkot di Bandung. Jelas belaka dari adegan itu bahwa film ini menatap kekerasan dari dalam. Kekerasan, seks, tribalisme, adalah tiga hal yang jarang dibongkar secara apa adanya dalam film-film Indonesia pasca-Soeharto. Bedakanlah dengan film-film punk wannabe ala Upi (Radit dan Jani), yang hanya penuh teriak di permukaan, semacam “Punk-look” dalam foto iklan pakaian. Romeo  Juliet paham benar makna kekerasan, kenapa ada orang-orang yang seperti tak bisa tidak melakukannya, dan memaksa Anda menatapnya dan bertanya-tanya: apa artinya kata “cinta” dalam dunia “ngensbrai” dan botol dikepruk ke kepala dalam terminal kumuh? (HD)

Kedekatannya dengan sepak bola dan kecintaannya pada medium sinema membuat sang sutradara membuat film fiksi panjang pertamanya mendekati realitas. Tema yang diangkat pun sangat jarang dibahas, padahal begitu sering terlihat: fenomena fanatisme para hooligan lokal dan kekerasan antar mereka. Keberpihakan jelas dinyatakan: cinta dan perdamaian mengalahkan dendam dan permusuhan. Film ini juga memulai lagi tema di film Indonesia, yang lalu diikuti beberapa epigon: olahraga, tepatnya: sepakbola! (EI)


15. 9808 (2008,Anggun Priambodo, Ariani Darmawan, Edwin, Hafiz, Ifa Isfansyah, Lucky Kuswandi, Otty Widasari, Ucu Agustin, Steve Pillar Setiabudi, Wisnu Suryapratama)
Sepuluh film pendek yang bisa berdiri sendiri menjadi lain sama sekali artinya ketika diberi payung bertajuk 10 Tahun Reformasi. Tiba-tiba saja, nama ketinggalan jaman seperti Sugiharti Halim jadi terhubung dengan sebuah Indonesia baru ketika perjuangan berkarat tentang menggapai identitas bisa dibicarakan terbuka – tak peduli kita siap atau tidak. Juga kisah tentang luka yang diraba dibalik rok, menjadi cerita pedih sebuah bangsa yang tak ingin diungkap agar tak mengorek luka lebih dalam. Bahkan pandangan Wisnu Kucing kepada para demonstran menjadi gambaran sebuah siklus panjang sejarah bangsa. 98:08 adalah salah satu proyek paling nyata “menolak lupa”, sebuah adagium yang lahir dari kutipan Milan Kundera bahwa perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawaan lupa. Maka payung kecil yang dibawa Prima Rusdi dan kawan-kawan ini berhasil melindungi bukan hanya proyek-proyek pribadi sepuluh pembuat film di proyek ini, tapi juga para pekerja film kita, dari “badai amnesia” yang kerap melanda kita sebagai bangsa. Mungkin payung ini tak cukup, ia merupakan usaha paling nyata generasi ini untuk menolak lupa. (ES)

Penafsiran kepada sebuah peristiwa bersejarah seharusnya tidak tunggal. Masing-masing orang mempunyai persepsi dan amatannya. Inilah yang digarisbawahi oleh 9808. Para sutradara muda berkumpul membuat omnibus yang mengangkat salah satu isu paling krusial dalam sejarah Indonesia: Mei 1998. Ada yang kocak dan segar macam Sugiharti Halim. Ada yang bercerita tentang orang-orang yang saat itu sedang tidak di TKP. Bahkan Wisnu Kucing mengangkat kisah hidupnya sendiri. Saya tidak bisa membayangkan film ini dibuat ketika Orde Baru berkuasa. Tidak hanya film ini menonjok langsung kekuasaan, tetapi dimungkinkannya sebuah sejarah dari kacamata individu, dengan cara dan gaya  yang personal, tidak dari satu sisi dan dimensi(EI)


16. King (2009, Ari Sihasale)
Film ini tak hanya menjadikan bulu tangkis sebagai sentral cerita, tetapi juga menempatkan lapangan bulu tangkis sebagai pusat kehidupan (sekaligus pusat geografis) sebuah kampung. Sebuah vantage point yang cerdas dari sang sutradara untuk mengingatkan bahwa sukses pribadi bisa jadi tak bermakna ketika berada di luar perjuangan komunal. Maka kedegilan anak bernama Guntur itu menjadi gambar dari kedegilan sebuah komunitas untuk mengaktualisasi diri. Bukan kebetulan pula ketika ternyata prestasi internasional muncul dari kedegilan macam itu. Film ini mengingatkan bahwa bangsa ini jadi besar karena sifat degil orang-orangnya. Juga ketika negara absen dan komunalisme serta perusahaan partikelir akhirnya lebih banyak berperan dalam menentukan kehidupan kolektif kita. (ES)

Jika Denias terjebak pada paradigma “pendidikan sebagai pil ajaib”, King jauh lebih jujur. Lewat film keduanya dari serentetean film yang sengaja mengeksplorasi yang non-Jakarta, Ari Sihasale memberikan gambaran tentang kecintaan terhadap bangsa yang bersahaja, dengan cara masing-masing, dan sangat berbasis komunitas. Dalam kasus ini, sebuah desa di kaki gunung Ijen yang menggilai bulutangkis. Mungkin sebagai sarana eskapisme, mungkin juga sebagai sarana kebanggaan. Masalah yang timbul dari ketegangan antara kehendak pribadi versus keluarga dan komunitas menjadikan King terasa “sangat Indonesia”. Dan toh, dari interaksi seperti itulah muncul prestasi-prestasi Indonesia. Sekaligus, dengan penggambaran yang pragmatis dan bahkan mungkin sambil lalu, tergambar kekuatan kedua King dibanding Denias: sebuah pengakuan bahwa negara ini tak memadai dalam mengapresiasi kecintaan masyarakatnya sendiri. (IA)


17. Saia (2009, Djenar Maesa Ayu)
Seperti kata sutradara John Waters, “I wonder what voyeurs do before cinema”, film ini  mengembalikan esensi sinema sebagai kegiatan seorang pengintip. Maka jangan tertipu oleh isi film yang adegan seks melulu. Karena Jenar sedang mengganggu kita saja dengan esensi medium film, medium yang sudah terlalu banyak diterima tanpa pertanyaan lagi. Dengan begitu, posisi kita sebagai penonton, seharusnya turut terganggu. Inilah film yang bercerita tentang logika tubuh minus erotika. Dengan menyaksikan tubuh yang berontak dan punya logikanya sendiri terhadap kekerasan dan seks, kita menyaksikan semacam cerita tanpa plot dan semacam struktur tanpa pembabakan dengan menahan atau menghela napas juga, selayaknya sedang menonton film drama atau laga. Tapi janganlah tertipu pada orgasme-orgasme palsu macam itu. Karena kamera, dan hanya kamera, yang menentukan siapa saya dan siapa ia yang sedang kita tonton itu. Ternyata, lewat film panjang kedua Jenar ini, kita diberi senyum di ujung film: betapa rapuhnya kenyataan. Sialan! (ES)

Bisa dimaklumi jika penonton (yang sangat terbatas, sayangnya) cenderung menganggap film ini sebagai “film tubuh”. Saya pernah menulis panjang lebar, bahwa ini “film kamera”. Oh, tentu seks hadir sangat eksesif, dan itu sendiri pastilah mengandung pemaknaan tertentu. Tapi perlu dicatat: seks di sini tak dipandang dengan ketakjuban anak remaja yang masih cekikikan berkesperimen dengan tubuh karena merasa sedang melanggar sebuah tabu –seks bukan poin, tapi sekadar pintu masuk. Di titik ini, Saia (dan Djenar) melesat jauh meninggalkan masalah-masalah moral (dan moralisasi) seks: ada soal lain yang lebih penting –kita hidup dalam sebuah dunia visual yang tak terperi. Di titik ini, Saia jadi pernyataan: dunia sedang berubah, dan definisi kenyataan semakin tak mudah. (HD)


18. Pintu Terlarang (2009, Joko Anwar)
Joko Anwar memperlihatkan bahwa film Indonesia bersaing di arena yang sama dengan film-film populer dunia. Joko sangat trampil menekuk dan melipat seenaknya cerita yang ia buat untuk efek yang memang ia harapkan sejak semula. Ia bagai bisa mengkriya dunia yang lain sama sekali. Film ini memang showcase Joko, bahwa ia bisa seperti Brillante Mendoza yang bisa jadi sutradara terbaik bahkan ketika bersaing dengan Quentin Tarantino, Ang Lee dan Pedro Almodovar. Atau ia akan dapat kesempatan seperti Guillermo DelToro yang memberi tawaran pada pusat film dunia. Namun saya memang masih menunggu Joko berevolusi, makanya saya tidak senang dulu. Joko, bagi saya, belum punya materi yang bikin deg-degan seperti nonton slum pornography-nya Mendoza. Belum juga punya materi se-nyamleng Pan’s Labyrinth-nya DelToro. Lagian, seleranya masih kelewat canggih untuk bisa membuat penonton Indonesia – seperti kata-katanya – “going gaga“. Saya masih menunggu, tapi rasanya penantian saya tak akan lama. (ES)

Film ini hanya bisa lahir dari sebuah generasi yang sepenuhnya (audio-)visual, dan hanya hendak bicara pada generasi itu pula. Tak bisa tidak, ia (atau seluruh kekaryaan Joko Anwar –kebetulan ini yang terbaiknya) jadi sebuah tanda dalam sejarah sinema Indonesia: bahwa telah tumbuh dewasa generasi yang memandang bahwa realitas adalah realitas kamera. (HD)


19. Mereka Bilang Saya Monyet (2007, Djenar Maesa Ayu)

Manusia Indonesia dalam film ini lahir dari sebuah kenyataan pahit yang dikunyah perlahan tanpa sungguh-sungguh akan ditelan. Dan celakanya yang pahit itu belum tentu obat. Apa mau dikata? Terlalu banyak tragedi dipelihara dan menentukan siapa diri kita, baik sebagai pribadi atau pun dalam kehidupan bersama. Maka dengan semacam kecengengan remaja yang menyalahkan dunia akan nasib malang diri sendiri, film ini membuat kita bergidik akan kemungkinan baru kompleksitas manusia Indonesia. Dan beda dengan jaman Sjumandjaja ketika kompleksitas itu dibentuk oleh modernisasi, ideologi negara atau borok birokrasi, kompleksitas jaman kini sumbernya dari sejarah diri sendiri: dari lintah yang dimasukkan ke dalam bak mandi atau paksaan menjilati muntah sendiri. Kompleksitas itu juga dari berasal kamera, dari semacam kesadaran bahwa narasi fiksi tak selalu membangun ilusi. Djenar Maesa Ayu –serupa dengan Joko Anwar– menunjukkan  dengan teramat jitu, bahwa “pesan moral film” tak penting sama sekali bagi penonton ketimbang menyodori mereka kesadaran akan kehadiran kamera. (ES)

Film debut Djenar Maesa Ayu, penuh kekurangan, tapi jadi salah satu tanda penting  masa depan sinema kita. Karakter-karakter dalam film ini bergerak seperti boneka konsep, film ini dingin dan nyaris klinis –tak ada emosi “nyata” dalam tragedi pribadi-pribadi di sini. Tapi, yang sangat berharga dari film ini: asyik-masyuknya meluaskan kemungkinan penciptaan dunia oleh kamera –bahwa dengan kamera, kau bisa menciptakan realitas apa pun. Bukan sekadar realitas fantastik yang dicipta dengan teknologi CGI (yang kini pasaran itu), tapi realitas-fiksional yang mampu menekuk-nekuk waktu. Ini komentar yang hanya jelas sehubungan dengan adegan penutup film ini. Yang segera patut dicatat dari pemaknaan ini: Djenar menekuk-nekuk waktu dan “realitas”, dengan modus film digital yang tak berbujet mahal. Satu lagi bukti bahwa gagasan lebih penting daripada alat. (HD)

Mereka Bilang Saya Monyet mungkin film personal. Tapi keberhasilan utama Djenar Maesa Ayu dalam membuat film ini terletak pada pemahamannya terhadap pokok masalah. Hubungan benci-cinta seorang perempuan dengan ibunya ini tidak diramu dengan asal-asalan. Hubungan psikologis ibu-anak bukan hal yang mudah untuk didalami. Salah sedikit, film seperti ini bisa terjerumus jadi film melodramatik yang berlebihan. Tapi, Djenar tahu betul apa yang ingin disampaikan. Berangkat dari pemahaman itu, terlihat jelas, Djenar tidak canggung mengarahkan karakter-karakter dalam filmnya dan terlihat tidak terbata-bata mengeksplorasi hubungan tokoh utamanya dengan orang-orang disekelilingnya, dan terutama dengan ibunya. Film ini bukannya tanpa cacat. Tapi dengan visi yang jelas itu, tidak heran, Djenar bisa dengan mulus merangkai sekuen-sekuennya hingga penonton percaya –setidaknya saya percaya– pada apa yang dihadirkan diatas layar. Dengan cara yang subtil pula, Djenar dengan entengnya bermain dengan persepsi penonton –yang sudah percaya– sambil disisi lain membiarkan penonton mengalami ‘blackout’ sejenak. Adanya visi dan pemahamannya yang mendalam terhadap masalah inilah yang saya rasa sulit ditemukan dalam film-film Indonesia yang ada sekarang. (AKU)


20. Ada apa dengan Cinta? (2002, Rudi Soedjarwo)
Film, sering kali, adalah perayaan terhadap youth culture dan youth culture membutuhkan film yang membantu mendefinisikan diri mereka. Keduanya punya saling ketergantungan abadi yang mungkin tumbuh sejak awal sejarah medium ini. Dan pada setiap jaman, ada film-film yang menjadi penanda bagi sebuah youth culture yang sedang tumbuh. Bagi Indonesia millennium kini, penanda itu adalah film ini. Lihat bagaimana ciuman di bandara jadi penting bagi koran yang terbit di Amerika seperti New York Times. Atau lihat bagaimana buku skenario biografi penyair Chairil Anwar jadi barang tentengan tapi tak pernah dibaca dan puisi  dalam buku ini jadi gaya hidup baru – sekalipun artifisial. Semua disaksikan oleh para penonton usia muda di multiplex di mal-mal mewah. Kisah cinta dalam film ini mungkin biasa-biasa saja, tapi film ini dan penontonnya sedang sama-sama menandakan sebuah generasi yang baru, sebuah Indonesia yang baru. (ES)

“Saya tidak percaya dikotomi film art dan komersial. Yang ada hanyalah film bagus dan film jelek,” ungkap Mira Lesmana, sang produser. Dan AADC, selain Petualangan Sherina, adalah bukti awal pernyataan itu. Sebuah film genre seputar cinta remaja yang tidak berat, mudah dinikmati, tapi tak kehilangan bobotnya dan tidak lebai. Tak lupa mereka menyisipkan nilai dan pesan, seperti “korban Reformasi” dan KDRT. Inilah film yang menjadi prototipe drama romantis anak sekolahan yang melahirkan banyak epigon, tapi tak banyak yang mengandung idealisme. (EI)


21. Janji Joni (2005, Joko Anwar)
Film berkait erat dengan kota, dan Janji Joni adalah film Indonesia paling jelas dalam soal ini. Film –dan penontonnya– dirayakan dengan demikian tulus dan meriah oleh film ini, dan kota dijelajahi hingga ke ketiaknya tanpa penghakiman sama sekali. Maka bisa jadi inilah film yang menandai sinema Indonesia baru, sebagai sebuah bentuk kesadaran penuh kaum urban terhadap medium milik mereka sekaligus bersikap sebodo teuing terhadap segala pandangan mapan tentang film dan sinema – dan juga otoritas sosial budaya yang sejak lama ada. Tidak kebetulan jika bentuk cerita yang disajikan adalah petualangan. Dengan irama cepat (fast-pace), film ini telah membawa  cara tutur kontemporer film kita – yang dekat dengan Hollywood  sejak Petualangan Sherina – merambah wilayah-wilayah genre yang universal. Dengan pendekatan “film kejar-kejaran” alias car-chase sebagaimana film-film Amerika, Janji Joni menandai sebuah cara tutur baru generasi yang sadar genre ini sekaligus meletakkan semacam platform baru bagi cara bersikap sineas Indonesia terhadap warisan sejarah film dunia. (ES)

Kecintaan Joko Anwar pada medium sinema terlihat kental di film ini. Dengan ringan, Joko mengungkapkan bagaimana pengaruh film terhadap “realitas” (dan bukan sebaliknya), filmmaking dan distribusi, pemetaan sosiologis jenis-jenis penonton, hingga profesi si Joni sang pengantar film. Janji Joni juga menambah jumlah film yang “enak untuk dinikmati,menghibur , tapi tidak asal dibuatnya”. (EI)


22. Ketika (2004, Dedi Mizwar)
Dengan logika terbalik, yaitu ketika kehidupan bersama sudah sempurna, film ini jadi sebuah parodi terbaik mengenai Indonesia baru, Indonesia yang dipandang dari kacamata pembaharuan hukum dan politik yang melandasi perubahan besar di tahun 1998. Dengan mengedepankan utopia sebagai latar belakang cerita, Dedi Mizwar dan penulis skenario Musfar Yasin berhasil berteriak lantang tentang agenda besar politik dan hukum di negeri ini tanpa kenyinyiran sama sekali. Alih-alih, ia berhasil mengajarkan political-correctness dengan cara santai bak Abu Nawas, keunggulan utama Dedi Mizwar yang tak tertandingi pembuat film Indonesia lainnya pada segala jaman. Sejauh ini, Ketika-lah yang paling berhasil dalam hal ini. (ES)

Sebuah komedi hitam yang satir bahkan tajam dan nyinyir tentang korupsi. Lepas dari mutu sinematografi yang pas-pasan, film ini tampaknya akan selalu bergaung  dengan kondisi negeri ini. Lihat saja, KKN ada di mana-mana, dari Bank Century hingga Gayus Tambunan. Karenanya, merenungkan dunia fantasi yang mengandaikan ketegasan aparat dalam menumpas para tikus kantor itu begitu penting. Dan, ah ya, reuni penting Deddy Mizwar dan Lidya Kandow! Film ini, selain film-film lainnya, tentu adalah bukti betapa pentingnya Musfar Yasin di kancah penulisan skenario negeri ini (EI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar