CHAPTER 1
AWAL PERKENALAN DENGAN BANG ENDRO
“ Ihsan, antum sudah
sholat dhuhur?” aku terbangun dari lamunanku saat Rizal teman satu LDK (Lembaga
Dakwah Kampus) menepuk pundakku.
“, antum mengagetkan ana
aja! Oh iya, ana belum sholat dhuhur nich!” aku menjawab sambil memakai tas
ransel hitamku kembali, yang saat itu masih tergelatak dilantai.
“, kalau gitu ayo kita
kemasjid sekarang!” ajak Rizal.
Aku hanya hanya
menganggukkan kepala, sambil berdiri dan berjalan menuju masjid kampus yang
jaraknya tidak begitu jauh dari fakultasku. Hhm, nikmat benar air wudhu yang
membasahi kulit-kulitku ini. Terasa semua ringan dalam membasuh semua
kotoran-kotoran dunia. Iqhomat sudah mengumandang, tanda sholat akan dimulai.
Kebutuhan rohaniku telah
aku laksanakan, sekarang waktunya untuk kebutuhan jasad ini. Dholim, jika aku
mengacuhkan kebutuhan tubuh ini.
“, antum sudah makan?”
tanyaku pada Ridwan teman satu LDK, yang sedang duduk-duduk diserambi masjid.
“Ana, belum makan !
Kenapa, mau ngajak makan? Tapi ingat , ana kalau makan nggak suka kalau
dikantin kampus kita ini!” ucap Ridwan. aku tersenyum sambil mengatakan
“nggak suka, apa
kemahalan?”
“hehehe, antum sudah tahu
rahasianya yach!” Ridwan mengatakan sambil tertawa
“Kita kan sama-sama
mahasiswa, tahulah yang dipikirkan! dan kita kan Ikhwah (saudara)! Jadi kita
harus lebih mengetahui keadaan saudaranya sendiri!” kataku sambil bernada sok
mengejek
Ridwan tertawa sambil
mengatakan “antum ini, ada-ada saja! Benar juga, kita Ikhwah (saudara) jadi
harus lebih tahu! Sekarang, Antum harus tahu kalau ana lagi boke’! Jadi antum
harus mentraktir ana!”
“, antum! kapan punya
uangnya? Boke’ kok terus! Ok lah, sekarang ana traktir” kataku sambil tertawa
dan mengajak Ridwan disebuah warung. Tentunya yang murah dan enak.
***
Hem, sepi sekali
dikontrakan! Mungkin teman-teman masih ngisih kajian atau mengikuti kajian
pikirku dalam hati. Aku merogoh saku celana, mencari kunci kontrakan.
“Ini dia!” kataku. Aku
buka pintu sambil berucap salam, tetap tidak ada yang menjawab salamku. Mungkin
memang teman-teman masih aktif dalam kegiatan masing-masing. Biasanya kalau
jam-jam tidur siang ini, teman-teman masih lebih aktif untuk berdakwah.
Biasanya Aris, Dedi, Feri
dan Adi selalu pulang sore, karena banyaknya aktifitas di SKI (Sie Kerohanian
Islam) fakultas mereka. Alhamdulillah kegiatanku sekarang sudah tidak sepadat
seperti mereka, mungkin teman-teman mengerti kalau aku sekarang lebih disibukkan
rencana untuk mengerjakan skripsi. Sehingga amanah-amanah dakwah, tidak begitu
banyak dibebankan kepadaku. Dulu, saat masih banyak-banyaknya aktifitas dakwahku.
Aku banyak sekali mempunyai binaan, mulai dari kajian anak-anak SD, SMP, SMA,
anak-anak jalanan sampai kajian para preman yang sudah tobat. Tapi alhamdulillah
sekarang lebih berkurang, sekarang aku hanya mengisi kajian ditempat para preman
saja. Pernah suatu hari, aku meminta tolong teman-teman untuk mengisi kajian
para preman. Ternyata teman-teman banyak yang belum siap untuk mengembangkan
dakwah dikalangan para preman. Sehingga kajian untuk para preman, masih tetap
aku yang mengisi. Memang sangat unik sekali saat bertemu dengan preman-preman
itu, saat-saat pertama mengenal mereka. Entah apa yang membuat para preman ini
sadar, akan pentingnya mengenal Islam lebih dalam. Perjumpaan yang sangat unik,
saat aku selesai mengisi kajian ditempat anak-anak yang kurang beruntung, aku
berjalan sendirian diperkampungan kumuh itu.
Disebuah pinggiran kali,
aku berpapasan dengan tiga para preman. Mereka melihatku dengan tatapan yang
tajam, seakan aku adalah mangsa yang siap untuk diterkam, dan tentunya sangat
lezat. Jantungku berdetak kencang, aku merasakan ketakutan saat berhadapan
dengan para preman. Tak pelak aku pun beristikfar dalam hati dan meminta
perlindungan kepada sang Maha pelindung.
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang
menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya, karena itu janganlah kamu takut
kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang
beriman (Ali Imran 175).”
Aku teringat dengan apa
yang difirmankan Allah, sungguh dahsyat apa yang kurasakan setelah mengingat
Ali Imran ayat 175. Tubuhku seakan siap menjadi tentara Allah yang akan
menghadang para
segerombolan kaum Bani
Israil. “Hai kamu! Kesini” teriak salah satu preman itu, memanggilku.
Dengan santai aku pun
mendatangi ketiga preman itu “ada apa Bang?” jawabku.
“Jadi ini yach, Guru
ngaji itu!” ucap salah satu preman yang berada ditengah.
“Iya Bos, dia salah satu
dari guru ngaji itu!” jawab salah satu preman disebelahnya.
Aku hanya diam dan
menatap mereka, serta bersiap siaga jika mereka akan berbuat sesuatu kepadaku.
“Apa benar kamu guru
ngaji, yang ngajar digubuk sana?” tanya preman yang dipanggil Bos, dan
kemungkinan dia memang memang Bos preman didaerah kumuh ini.
“Iya benar!” jawabku
singkat dan mantap, sambil sedikit menganggukan kepala.
“Hhm, aku sudah mendengar
kalakuan kalian pada anak-anak disini!” ucap si Bos preman itu. “apa kamu nggak
takut, sama kami!” ucapnya lanjut, dengan sedikit agak membentakku.
Saat itu aku hanya
sedikit tersenyum lalu mengatakan “maaf kalau saya mengganggu atau ada kelakuan
saya dan teman-teman yang tidak mengenakkan, kami mengajar kesana hanya untuk
meningkatkan keilmuan anak-anak, serta mencari pahala yang dijanjikan oleh
Allah swt! Tidak ada maksud lain selain itu.” Ucapku tenang dan tegas
“Jadi, kamu memang
benar-benar tidak takut pada kami!” Bos preman itu membentak keras kepadaku
“Maaf, bukan bermaksud
seperti itu! Saya dan teman-teman, mengajar dengan keIkhlasan. Bukan mencari
permusuhan!” jawabku mencoba untuk menenangkan mereka.
“Dasar bocah. Kamu sudah
berani menginjak daerah kami!” ucap salah satu preman yang berambut gondrong.
“Sudah sikat saja!” ucap
preman yang berbadan ceking, berambut cepak sambil langsung bergerak
mengepungku, tidak terkecuali preman yang berambut gondrong itu. Si Bos preman
hanya melihat dan diam saja.
Darah sudah mendidih,
luapan emosi sudah menerjang pada ketiga preman itu. Aku juga sudah
bersiapsiaga menerima serangan dari kedua preman itu.
“Tak ada yang saya takuti
selain Allah swt, jikalau saya mati disini! Maka akan banyak tentara Allah yang
akan menghajar kalian! Dan saya syahid dijalan-Nya” ucapku keras Saat si preman
gondrong akan menyerang, terdengar teriakan keras “HENTIKAN”. Kami menoleh pada
Si bos preman itu. “Sudah, hentikan!” perintahnya lagi.
Aku masih tetap
bersiapsiaga jika sewaktu-waktu mereka menyerangku.
Si Bos preman itu
mendatangiku, lalu dia tersenyum sambil berkata “Hai anak muda, siapa namamu?”
“Ihsan, Ihsan
Hendriansyah!” ucapku tenang dan tetap tegas.
“Baru kali ini, saya
berhadapan dengan anak muda yang berani!” ucap Si bos preman, selanjutnya dia
mengatakan “sebenarnya beberapa kali, ada anak muda yang mengajarkan ngaji pada
anak-anak diperkampungan kumuh ini. Tetapi mereka adalah anak muda yang
munafik, mereka mengatakan kebesaran Tuhannya tetapi mereka menakuti manusia.
Mereka takut pada kami, para preman! Saat aku melihat kamu, aku ingin menguji
keberanianmu, aku ingin menguji keimananmu, ingin menguji kekuatan
kepercayaanmu kepada
Tuhanmu. Dan menguji, apakah kamu dari golongan anak muda yang munafik itu?
Sungguh luar biasa keberanianmu, engkau tak takut akan kematian. Bahkan engkau
mencari kematian, kematian diatas nama Tuhanmu! Dan ternyata kamu bukan dari
golongan anak-anak muda yang munafik itu.”
Nih preman gak tau kali
ya, kalau aku sebenarnya juga takut! Tapi Alhamdulillah, dengan pertolongan
Allah swt, rasa takutku pun menjadi sebuah keberanian. Ucapku dalam hati.
Si Bos preman mendekat
kepadaku, lalu menepuk pundakku sambil mengatakan “hai anak muda, kami tidak ingin
ada orang yang mengajarkan anak-anak kami tentang bagaimana mengenal Tuhan,
sedangkan dia sendiri tidak mengenal-Nya. Kami ingin anak-anak kami di didik
oleh orang-orang yang memang mengerti tentang Tuhan. Tidak takut akan ancaman
manusia, tetapi dia lebih menakuti ancaman-ancaman Tuhannya. Sehingga anak-anak
kami nantinya, menjadi seorang pemberani dalam hidup. Dan termasuk dari
golongan orang-orang yang shaleh.” Si bos preman itu memandangi aku,
layaknya berharap
kepadaku, berharap tentang ajaran kebenaran. Berharap akan datangnya cahaya
keIlahian. Setelah itu Si bos berkata “Ihsan, jangan kamu kira bahwa kami tidak
perduli dengan masa depan anak-anak kami! Kami berpenampilan seperti ini, karena
kami ingin melindungi daerah ini, dari preman-preman yang lain! Dengan seperti ini
kami lebih leluasa untuk bergerak.”
Aku tersenyum saat Si bos
preman itu menatap tajam penuh makna, penuh pengharapan dari orang yang
menginginkan kebenaran. “Insya Allah, saya akan mendidik anak-anak dilingkungan
sini dengan ilmu yang pernah saya dapatkan! Saya hanya menginginkan keridhoan
Allah saja dalam berjuang, bukan yang lainnya.” Ucapku.
“Terima kasih, Ihsan! Dan
jika kamu butuh apa-apa silakan panggil kami.” Ucap Si bos preman sambil akan
beranjak pergi.
Saat dia akan beranjak
pergi, serta merta pun aku langsung memanggil Si bos “maaf, saya belum tahu
nama Abang!”
Si bos preman membalikkan
tubuhnya menghadap aku, dia tersenyum sambil menjawab “Panggil aku, Endro!
Sampai jumpa Ihsan”
Saat hendak Si bos preman
alias Bang Endro melangkah meninggalkanku, aku berteriak
“Assalamua’alaikum, Bang”
Bang Endro menoleh,
sambil tersenyum dan menjawab “Walaikumsalam” setelah itu dia pergi.
Aku tertegun sesaat,
pikiranku menerawang mengingat apa yang dikatakan Bang Endro “Kami tidak ingin
ada orang yang mengajarkan anak-anak kami tentang bagaimana mengenal Tuhan,
sedangkan dia sendiri tidak mengenal-Nya.” Sungguh luar biasa apa yang
diucapkan Bapak Endro. Tiada kata yang seindah dengan pengingatan keras,
seperti apa yang diucapkan Bang Endro. Sungguh aku benar-benar takut, takut
jika tidak dapat mengemban amanah ini. Sebuah ucapan yang harus diperhitungkan,
meski ucapan itu diucapkan oleh orang-orang jalanan atau bahkan seorang preman.
Tiada hal yang harus kita singkirkan, dari pernyataan seorang preman yang
begitu agung. Mungkin pernyataan Bang Endro, layak disetarakan dengan
Aristoteles atau mungkin Imam Ghazali, sungguh pernyataan yang tidak dapat
diduga dari mulut seorang yang masih tidak begitu mengenal tentang kebenaran
dari Tuhan. Tapi tetap, Bang Endro adalah Endro, bukan Aristoteles atau bahkan
Imam besar Al Ghazali. Yang aku tahu, dijaman seperti sekarang ini pernyataan
yang di ucapkan oleh Bang Endro sangat langka. Kita lebih banyak tahu, tentang
orang-orang yang selalu berpikiran sempit tentang ajaran-ajaran kebenaran ini,
Islam. Apalagi menganggap bahwa, anak-anak yang mempelajari agama Islam, adalah
anak-anak yang ketinggalan jaman. Mereka mungkin lupa dengan apa yang dikatakan
Imanuel Kant, bahwa tingkatan paling tinggi dari estetika dan etika, dari
derajat manusia adalah rasa keimanan yang tinggi terhadap agamanya (relegius).
Setelah aku kenal bang Endro,
terjadi banyak hal yang memang membuatku kagum dengan Dia. Sosok preman yang
satu ini memang beda dengan preman-preman yang lainnya. Dia tidak pernah
meminta uang apapun didaerah kekuasaannya, apalagi hanya sebatas uang
keamanaan. Tetapi tetap kerjanya Bang Endro, jadi bodyguardnya pemilik hotel.
Kata Bang Endro sich, pemilik hotel itu takut, takut kalau ada yang bikin gara-gara
dihotelnya. Jadi akhirnyaBang Endro yang diminta perlindungannya.
Sungguh memang ironis
dinegara kita ini, para penegak hukumnya sudah tidak lagi dapat diandalkan
sebagai penegak hukum yang sebenarnya. Hingga rnya orangorang yang punya uang
pun, lebih aman dijaga preman dan satpam. Setalah sering bertemu, rnya aku
beranikan diri untuk mengajak Bang Endro bikin kajian khusus para
preman-preman. Luar biasa tanggapan bang Endro, ternyata sangat menerima sekali
ajakanku itu “ini yang ditunggu-tunggu dari dulu, jarang ada pengajian buat
para preman!” ucap Bang Endro saat itu. Tiada hal yang dapat menggembirakan
hati ini, kecuali ajakan untuk berbuat baik disambut dengan kebaikan pula.
Sejak saat itulah, aku sering mengisi kajian para preman-preman. Dan akhirnya aku
banyak tahu, nama-nama dari preman diwilayahku sendiri.
Lambat laun kajian para
preman yang aku adakan semakin ramai saja, karena para preman ini sering
mengajak teman-teman preman lainnya untuk ikut ngaji juga. Beberapa preman yang
masih baru mengikuti kajian, banyak yang canggung. Sehingga sesekali ada celetukan
yang kadang jorok, lucu, atau bahkan mengharukan. Mengharukan, karena ternyata
banyak para preman ini yang tidak dapat membaca Al Qur’an, “baca Al Qur’an! La
wong baca koran aja susah kok” itulah celetukan menyayat hati. Dinegara yang katanya
sebagian besar umat Islam ini, ternyata tidak sedikit yang belum bisa membaca Al
Qur’an. Tapi tertera dengan jelas di KTPnya (Kartu Tanda Penduduk), ISLAM.
“Jadi, sebenarnya yang benar ini, yang mana? Islam KTP apa KTPnya yang Islam.
Kalau Islam KTP sich masih punya identitas keIslamannya, nah kalo KTPnya yang
Islam berarti yang Islam itu?.” Gumamku dalam hati Hari-hari yang aku lalui
dengan para preman, ini sungguh memberikan kesan yang tersendiri. Kesan yang
membuatku kagum dengan semangat mereka, semangat yang ingin lepas dari jeratan
syetan. Sungguh besar rahmat Allah, disaat banyak orang yang menjauhi agama
Islam, tetapi mereka dengan berbondong-bondong belajar agama yang haq ini,
Islam. Mereka tidak merasa malu dengan keIslamannya, bahkan hari demi hari mereka
menjadi bangga dengan apa yang mereka peroleh.
Sejak saat itu aku sering
main kerumah bang Endro, tak jarang pun bang Endro main-main ketempat kosku.
Beberapa teman-teman aktivis dakwah sempat kaget, dengan jalinan pertemananku
dengan bang Endro. Sampai-sampai Dedi, dengan ceplas-ceplosnya mengatakan
“ Ihsan! Antum punya
banyak binaan preman, kok gak disuruh untuk lebih meningkatkan keimanannya!
Sehingga dandanan para preman itu menjadi lebih sopan lagi”
“Sebenarnya, gini !
Seseorang diberikan peringatan tidak harus langsung, kita harus mengetahui
kadar keimanan dari seseorang yang akan kita beri peringatan. Ana takut, kalau
ana memberikan peringatan yang keras kepada mereka, rnya menjadi lari dengan
dakwah kita. Cukup tunjukkan perilaku kita saja, biar mereka meniru apa yang kita
perbuat, dan tidak usah banyak berkata-kata! Karena sesungguhnya, Islam adalah agama
prilaku! Maka berikan contoh, karena sesungguhnya contoh itu yang mudah untuk ditiru.”
Memang ucapan Dedi benar, tetapi suatu hal yang mendasar, yang diajarkan Rasulullah
kepada umatnya adalah rasa kasih dan sayang serta memberikan peringatan dengan
lemah lembut. Juga memberikan amanah kepada seseorang, dengan sesuai tingkatan
keimanannya. Tidaklah seorang yang bijak, jika menyeruhkan kebenaran tetapi dia
sendiri tidak melakukan. Tidaklah kebenaran itu akan terwujud, jika kebenaran
itu hanya berada pada ucapan-ucapan semata. Tidaklah ucapan-ucapan kebenaran
akan terwujud, jika perilaku si pengucap menyimpang dari perkataan
kebenarannya. Orang bijaklah, yang menyerukan tentang kebenaran, dan dia
mengetahui kebenarannya serta mengetahui kadar iman dari seorang yang akan
diserunya.
Hari demi hari,
pertemanan kami sangat dekat. Bang Endro, sudah aku anggap sebagai kakakku
sendiri. Sehingga rasa kekeluargaan kami terasa begitu kental. Istri bang Endro,
mbak Surtini juga sudah mengikuti kajian ibu-ibu yang diadakan oleh teman-teman
akhwat kampusku. Apalagi Jaka, putra bang Endro ini lebih senang datang
kekajian dari pada pergi ke sekolah “sekolah itu bosenin, Ustad! Masa kerjanya cumin
belajar melulu, nggak ada mainnya.” Itulah kata Jaka saat aku tanya. Tapi
memang, Jaka menjadi anak yang lebih cepat menangkap pelajaran agama daripada pelajaran-pelajaran
yang lainnya. “saya kan pengen kaya’ ustad Ihsan!” akunya polos. Saat Jaka mengatakan
itu dengan polos, badan ini menjadi benar-benar bergetar.
Beribu Tanya dihatiku
“apakah aku layak dijadikan contoh, bagi Jaka?”
sering juga bang Endro mengatakan
kepadaku, “Ihsan, Jaka benar-benar kagum dengan kamu! Sering aku Tanya tentang
cita-citanya, dia selalu berkata. “aku pengen jadi ustad. Kayak, ustad Ihsan!” aku
mohon jangan sampai kamu kecewakan Jaka!.” Sungguh ucapan bang Endro menjadi cambuk
bagiku. Cambuk yang selalu mengingatkan aku, untuk selalu mendekatkan diri pada
Allah Azza wa jalla.
Beberapa kali saat aku
mengisi kajian ditempat anak-anak yang kurang beruntung. Selalu ada semangat
baru bagiku, untuk dapat meningkatkan kualitas mereka. Terutama kualitas dari
pengetahuan agama mereka. Mungkin seperti itulah Allah, memberikan kenikmatan
berdakwah padaku. Saat aku sedang mengisi kajian, aku didatangi oleh
orang-orang yang tidak dikenal. Sesekali mereka menanyakan tentang data-data
daerah kumuh ini pada salah satu RT. Setelah mereka mendapatkan data-datanya,
mereka langsung pergi. Dan setelah itu tak lama muncul sebuah kegiatan
kemanusian, berupa pembagian sembako dan alat-alat masak gratis. Dan anehnya
kegiatan itu sangat mengetahui seluk beluk dari daerah kumuh ini. Sehingga
mereka dengan leluasa membagikan sembakonya kepada penduduk.
Entah dermawan mana yang
membagikan sembako itu, yang aku harapkan tidak ada maksud yang lain selain
kegiatan kemanusiaannya. Pertama-tama kegiatan pembagian sembako itu bersifat
biasa-biasa saja, tetapi lama kelamaan kegiatan sembako menjadi kegiatan kajian
rutin. Entah siapa yang mengusulkan kajian itu, tak pelak kajian keIslaman yang
aku dan teman-teman adakan, menjadi sedikit peminatnya. Apalagi kajian ibu-ibu
yang diselenggarakan oleh parawat kampus. Saat aku sedang mengadakan kajian
rutin para preman, aku mencoba untuk mengorek beberapa keterangan tentang para
dermawan-dermawan yang membagikan sembako. Dengan mengorek keterangan dari para
preman, aku bisa leluasa mendapatkan banyak ketarangan yang sangat berharga.
“Bang Endro, tahu nggak
kajian yang dilaksanakan setiap jum’at malam itu?” tanyaku
“Iya saya tahu, Ihsan!”
jawab bang Endro saat itu
“Saya cuma ingin tahu,
berapa banyak orang-orang yang datang disana?” tanyaku
“Sangat banyak yang
datang kesana, Ihsan! Bahkan beberapa dari kita pun pindah ke kajian mereka”
ucap bang Endro
“Benar, banyak sekali
warga kita yang ikut kajian mereka! Kabarnya sich, orang-orang yang ikut kajian
mereka itu dikasih uang saku plus oleh-oleh kalau pulang” ujar Dadang preman
gondrong anak buah bang Endro.
“Loh, lalu kenapa bang
Dadang nggak ikut kajian mereka?” tanyaku dengan heran
“Saya kok, merasa ada
yang ganjil yach di kajian itu!” kata bang Endro
“Benar Bos!” ucap bang Dadang.
Selanjutnya dia mengatakan “saya pernah melihat mereka yang wanitanya memakai
jilbab. Seperti teman-teman mas Ihsan yang pake jilbab besar-besar itu! Tetapi
saat saya melihat terus, ternyata saat masuk kedalam mobil, mereka melepas
jilbabnya. Dan disitu ada tiga wanita, empat laki-laki. Mereka terlihat tertawa
lepas, para wanita itu dipeluk oleh laki-lakinya! Saat itu saya sebenarnya mau hajar
mereka karena bertingkah tidak baik dan saya kira itu juga melecehkan ajaran Islam.
Tetapi saya urungkan, karena waktu itu saya sendirian. Takut juga, kalau dikeroyok
mereka!”
“Dasar, penakut kamu!
Siapa yang ajari kamu jadi pengecut begitu” bentak bang Endro,
“kenapa kalau takut nggak
bilang! Bisa aku hajar mereka. Aku nggak pernah ajari kamu sebagai pengecut kan?”
bang Endro terlihat sangat emosi, melihat perilaku bang Dadang yang menurutnya
pengecut.
“Sabar bang, sabar!”
ucapku sambil memegangi tangan bang Endro. “sebenarnya bang Dadang nggak salah
bang, Islam mengajarkan kita untuk berani menindak kezaliman. Tetapi Islam juga
mengajak kita untuk bisa membuat strategi. Kalaulah bang Dadang saat itu
melawan mereka, dan setelah itu bang Dadang dihajar oleh mereka atau bahkan dibunuh
oleh mereka! Maka saat ini kita tidak akan tahu perbuatan yang dilakukan oleh mereka.
Dengan begini kita rnya tahu apa yang dilakukan oleh mereka. Tetapi seandainya
jika bang Dadang melawan mereka, meskipun bang Dadang kalah atau bahkan mati.
Maka bang Dadang akan mendapatkan pahala, dan kematian bang Dadang adalah
syahid. Surga adalah balasan bagi orang-orang yang syahid. Untuk saat ini sebaiknya
kita pantau kelakuan mereka, para pembagi sembako itu!” ucapku tegas.
Semua yang hadir saat itu
terlihat setuju sambil menganggukkan kepalanya. Sejak saat itu, aku dan
teman-teman lebih intensif memusatkan perhatianku pada gerak-gerik para
dermawan itu. Dan bang Endro, sebagai spionaseku untuk mengorek semua kegiatan yang
dilakukan oleh mereka.
“Ada maksud apa dibalik
semua ini?” itulah sebuah pertanyaan besar, bagi kami para aktivis dakwah ini.
Dan pada saat itu, muncul ideku untuk ikut kajian para pembagi sembako itu. .
***
Saat itu jum’at malam,
pengajian diadakan ditempat rumah Bapak RT. Banyak sekali yang datang
menghadiri. Saat akan masuk ke tempat pengajian, para penyambut tamu sudah bersiap
memberikan makanan. Makanan-makanan yang memang lezat-lezat itu mengundang
sekali untuk disikat. “hem, bagaimana tidak senang! Yang hadir saja dikasih
makanan lezat kayak gini” gumamku sendirian.
Saat itu Adi yang aku
ajak untuk menghadiri kajian tersenyum, lalu mengatakan “Wah, . Dakwah kita
memang kalah canggih yach!” Saat aku melihat sekeliling, terlihat memang tidak
ada yang perlu dicurigai.
Hanya saja, memang
terlihat beda sekali dengan sistem kajianku. Terlihat beda karena aku bisa
melihat para wanita yang juga ikut dalam kajian jum’at itu. Mereka mungkin lupa
untuk menggunakan hijab (batasan/penutup) antara wanita dan pria. Saat aku
melihat sekitar, mataku melihat sosok seorang gadis berjilbab lebar yang sedang
membagikan makanan kecil kepada para wanita. “siapa dia? Kayaknya aku mengenal dia!
Hem, dimana yach?” pikirku. Memang aku merasa mengenal wajahnya.
Seorang ustad memakai
sorban, naik ke mimbar yang sudah disediakan. Terlihat memang meyakinkan sekali
orang itu. “oh namanya, kyai Badrul!” gumamku saat kyai itu mengenalkan namanya
diawal pembukaan, baru kali ini aku mengenal kyai Badrul. Beberapa saat setelah
lama ustad itu berceramah, dia langsung berkata “sesungguhnya agama Islam itu
agama yang pasrah! Jadi sesungguhnya, orang-orang yang pasrah adalah orang-orang
yang beragama Islam. Meskipun dia tidak beragama Islam, kalau dia pasrah kepada
Tuhannya, maka dia orang Islam” kata kyai Badrul yang saat itu sedang berceramah
didepan mimbar.
Sontak saja aku dan Adi
yang mengikuti kajian itu, saling berpandangan. Wajah Adi terlihat geram “, ini
nggak bisa dibiarin! Ini namanya pendangkalan dah!” ucapnya lirih.
“Tenang, . Jangan
gegabah, kita lihat dulu maksud dari kyai yang baru kita kenal ini” jawabku
lirih pula.
“Sesungguhnya, Islam itu adalah
rahmat bagi seluruh alam! Jadi, untuk bisa menjadi agama yang rahmat, orang
Islam haruslah saling menghormati dengan agama yang lainnya. Agar tercipta
kehidupan saling menghormati, ucapkanlah selamat jika ada agama lain yang
sedang merayakan perayaan! Karena Islam agama rahmat, ucapan selamat itu adalah
ucapan rahmat!” kata kyai Badrul saat masih berada diatas mimbar.
Sontak pun aku dan Adi
saling memandang “, ini memang nggak bisa dibiarkan! Ini sudah pendangkalan aqidah”
ucap Adi padaku “Iya benar, ini memang sudah pendangkalan aqidah umat Islam!
Entah kyai mbeling dari mana dia, dengan seenaknya ngomong kejamaah umat Islam
seperti itu!” ucapku lirih
“, setelah ini kita harus
gerak cepat! Sebelum banyak orang yang akan didangkalkan aqidahnya” pintaku ke Adi.
“Iya, kita harus gerak
cepat!” jawab Adi pasti. Saat kyai Badrul selesai berceramah, datang beberapa
bingkisan makanan. Bingkisan makanan itu dibagikan untuk oleh-oleh para jamaah
yang hadir disitu. Saat pembagian sembako itulah aku melihat, sosok cantik yang
berjilbab lebar itu lagi. Aku benar-benar menatapnya, sambil mengingat-ingat
dimana aku pernah berjumpa dia. Aku kaget saat Adi menyikutku pelan, sambil
berkata “, antum jangan lihat akhwat terus! Ingat, pandangan pertama itu dari Allah
tetapi selanjutnya dari syetan! Tapi, memang tuh akhwat cantik juga yach!”
“Ana, nggak melihat akhwatnya!
Ana cuma melihat wajahnya” ujarku
“Hhm, dibilang ngelihat akhwat
nggak mau! Tapi malah bilang, melihat wajahnya akhwat. Ini malah lebih parah,
!” ujar Adi sambil tersenyum.
“Yee, . Antum seharusnya
dengerin ana dulu, jangan langsung potong pembicaraan ana. Ingat Rasulullah itu
pantang memotong pembicaraan orang!” ucapku kecut.
“hehe, begitu aja marah!
Ana kan cuma bercanda, !” ucap Adi sambil cengengesan.
“, sebenarnya ana merasa
pernah bertemu dengan tuh akhwat! Tapi ana lupa dimana?” ucapku dengan
mengingat-ingat kembali.
“Hem, coba di ingat lagi!
Ana juga heran, kenapa ada akhwat yang ikut kyai mbeling kayak gitu, ya !” ucap
Adi sembari mengambil makanan yang dibagikan saat awal masuk pengajian.
“Yee, antum ini gimana!
Masa benci kyainya, tapi memakan pemberian kyai Badrul” kataku dengan nada
bercanda mengejek.
“Hem, selama makanan ini
nggak haram, kan boleh dimakan! Ingat , ambil kuenya jangan ambil aqidahnya”
jawab Adi sambil mengunyah kue lalu tersenyum.
Aku tersenyum sambil
mengatakan “Dasar, mahasiswa kontrakan!”
Saat aku masih melihat
kearah wanita itu, wanita berjilbab itu menatapku sambil terlihat menajamkan
matanya kearahku. Tak lama setelah beradu pandang denganku, wanita berjilbab
itu langsung meninggalkan tempat dengan tergesa-gesa. “, ana rasa akhwat itu
mengenal ana! Antum tadi lihat nggak ekspresi wajahnya, saat ana beradu pandang
dengan akhwat itu! Dia terlihat terkejut, dan dia langsung meninggalkan tempat pembagian
oleh-oleh untuk para jamaah!akhwat itu terlihat sangat terburu-buru sekali” ucapku
serius.
“Iya , tuh akhwat gimana
nggak lari! Lah antum, ngelihatin akhwat kayak mau gebukin maling. Terang aja
dia lari!” setelah itu Adi terlihat serius sambil mengucapkan “Atau mungkin dia
terpesona kali , sama antum. Biasalah, siapa yang nggak terpesona dengan antum.
Pangeran tampan dari negeri kodok” ucap Adi dengan masih mengunyah kue yang
hampir habis, sambil cekikikan sendiri.
“Hem, nih Ikhwan! Becanda
mulu’, apa nggak ingat kalau sering tertawa itu bias mematikan hati!” jawabku
jengkel.
Sambil cengengesan Adi
mengatakan “Afwan , afwan!” Saat kami semua sudah mendapatkan bingkisan
masing-masing, dan bergegas pulang. Dan pada saat kami akan pulang, aku
menyempatkan memeriksa bingkisan yang sedang berada digenggamanku. Dan ternyata
“masya Allah, berisi uang saratus ribuan” gumamku dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar