Selasa, 20 Maret 2012

33 Film Indonesia Terpenting Dekade 2000-2009 (1)


Inilah daftar lengkap 33 Film Indonesia terpenting dekade 2000-2009 versi Rumah Film. Jangan lewatkan tulisan pengantarnya oleh redaktur kami,  Ekky Imanjaya dan Hikmat Darmawan.


1. Opera Jawa (2006, Garin Nugroho)

Dengan mengadaptasi kisah Ramayana secara longgar, Garin menggambarkan Indonesia sebagai hasil dari benturan ekonomi politik yang keras dalam lingkungan domestik, tempat laki-laki dan perempuan terlibat pertarungan sampai mati mempersoal seksualitas dan peran masing-masing. Bukan kebetulan jika perempuan – dan ibu – memainkan peran penting dalam kisah ini karena tampak ada keyakinan Garin tentang ibu sebagai sebuah perwujudan ilahi, mirip kisah Dewi Sri dalam kepercayaan Jawa.
Tambahan lagi di film ini Garin juga memperlihatkan bahwa film tak cuma perpanjangan dari fotografi atau seni pertunjukan modern, tapi film juga bisa merupakan perpanjangan dari sendratari, sebuah kesenian rakyat yang begitu dikenal di negeri bernama Indonesia. Garin juga cukup pede untuk membawa komposisi gamelan, seni instalasi, tari tradisional Jawa dan kesenian hibrida nyetrik Eko Sulistianto dan Ki Slamet Gundono ke dalam campur sari kontemporer ini. Hasilnya adalah sebuah kemungkinan baru bagi kesenian bernama sinema. (Eric Sasono, ES)

Keberhasilan Garin dalam film ini adalah mencapai puncak dari perjalanan estetikanya sendiri sejak mula ia membuat film dokumenter dan cerita pada awal 1990-an: film-filmnya selalu sebuah percakapan antara yang Jawa, yang Indonesia, dan yang dunia; antara yang modern dan yang tradisional. Opera Jawa adalah puncak percakapan itu. Sekilas tonton, ia adalah makhluk ganjil –opera dalam rupa film, dan dalam ucap seni khas Jawa berbaur dengan seni kontemporer. Karena ganjil, mudah bagi banyak orang untuk mengibasnya, menganggapnya sebagai “sok aneh” dan elitis. Fakta bahwa ia dapat ditonton dengan asyik oleh baik penonton Eropa maupun para pedagang angkringan dan tukang becak di alun-alun Jogjakarta memberi kerangka lain: film ini, dalam keganjilannya, telah membongkar batas-batas dan prasangka-prasangka awal kita tentang tontonan, penonton, serta tindakan menafsir sebuah film. Mungkin saja ia tak memberi nyaman bagi kelompok tertentu penontonnya, kelompok yang dengan kukuh mempertahankan kotak “bagaimana seharusnya film itu”. Film ini memang hadir tanpa apologi: ia hanya hendak ada, mungkin mengganggu, dan justru karena itulah ia membuka banyak pintu pembacaan. Di tengah kebebasan berekspresi sesudah Reformasi 1998, aneh sekali bahwa kebebasan dan kelenturan macam begini justru terasa amat jarang. (Hikmat Darmawan, HD)

“Ini tidak seperti semua yang pernah saya lihat sebelumnya,” seorang teman, programmer Yamagata International Documentary Film Festival, berkomentar tentang Opera Jawa. Dia menceritakannya dengan berbinar. Tapi, tak lama sesudahnya saya berjumpa seorang kritikus film pengelola jurnal film internasional. Ia, sebaliknya mengeluhkan Opera Jawa. “Garin terlambat. Apa yang dilakukannya sudah dilakukan orang seperti Peter Brooks di tahun 1980-an.” Dengan bekal dua pendapat itulah saya kemudian menonton Opera Jawa untuk pertamakalinya.

Mungkin fakta bahwa saya menyaksikan Opera Jawa di negeri asing punya peran dalam pembentukan pendapat saya tentang film yang sangat Indonesia ini. Tapi, sungguh, sangat jarang saya menonton sambil tersenyum sepanjang film. Di film ini, terasa sekali Garin sepenuhnya bermain-main, dan ia berhasil menulari saya. Jika puncak keseriusan ada pada kebermainan, Opera Jawa berhasil mencapainya. Hanya tentu bukan itu yang membuat saya tanpa ragu menempatkan Opera Jawa dalam puncak daftar ini. Tapi, melihat  seluruh film Indonesia dalam daftar, sangat jelaslah hanya Opera Jawa yang aktif turut serta dalam “diskusi” intens tentang eksplorasi naratif, ekperimen alternatif form maupun pertanyaan mendasar tentang hakikat sinema yang kini tengah berlangsung di sinema dunia.  (Krisnadi Yuliawan, KY)


2. Kantata Takwa (2008, Gotot Prakosa dan Eros Djarot)

Agenda yang dibawanya bisa jadi milik dekade sebelumnya, yakni 1990-an. Tapi, perlawanan seniman terhadap kekuasaan agak sulit dikerangkakan sesempit itu. Sepintas, apa yang dibawa Kantata Takwa seperti tak relevan lagi pada dekade 2000-an. Perlukah seorang seniman berteriak “bongkar!” sambil mengepalkan tinju kepada ketidakadilan ketika penguasa lalim bernama Soeharto sudah turun dari tahtanya? Jawabnya: perlu! Karena film ini justru mengingatkan bahwa film masihlah kesenian, dan kesenian, masihlah punya relevansi sosial politik yang tinggi. Karena perlawanan kini bisa berbentuk berbeda, tapi semangat seperti Iwan Fals bernyanyi di tepi kali bersama “anak-anak singkong” adalah wakil sebuah sikap yang harus terus ada. Serupa ketika salah satu pahlawan Asia ini menyenandungkan Laa Ilaaha Ilallah sambil telanjang dada. Inilah dia: sesungguhnya selalu ada yang namanya kompromi dan kemapanan; dan film ini mengingatkan bahwa jalan hidup seorang seniman adalah tidak menerima hal-hal itu begitu saja. (ES)

Kantata Takwa adalah sebuah kesetiaan pada proses: 18 tahun dari konsep, syuting, hingga menjadi film, adalah sebuah capaian tersendiri. Sengaja atau tidak, proses panjang itu bagai waktu yang menyempurnakan anggur terbaik. Dan film ini adalah campuran terbaik dari rock aliran progresif, teater dan sastra, serta sinema. Film ini, anehnya, juga adalah salah satu film yang paling terlibat dalam persoalan masyarakat Indonesia dalam dekade awal 2000-an. Film ini jelas berpolitik, dan politiknya jelas: anti rezim represif, anti-kemandegan. (HD)

Apakah ini film musikal? Semi-dokumenter? Eksperimental? Puitis? Label dan cap tak bisa mengurung dan membatasi film ini. Ia menunjukkan jati dirinya sendiri dan meneriakkan protes kritis mereka terhadap kekuasaan. Inilah kombinasi sempurna dari orang-orang terhebat di bidangnya, di antaranya: Iwan Fals, Rendra, Erros Djarot, dan Gotot Prakosa. Nilai lebih bagi pencinta band Kantata Takwa: mereka akan dibawa bernostalgia dan bahkan berkaraoke saat menonton! Walau dibuat awal 1990an, namun pernyataannya masih relevan hingga saat ini. Dan ketika ide sebuah karya bisa terus bergema tanpa bisa diusangkan waktu, inilah salah satu ciri sebuah mahakarya (Ekky Imanjaya, EI).

Gamblangnya, mungkin orang mudah untuk mengklaim Kantata Takwa hanya bisa lebih berbicara pada zamannya, yaitu ketika Sisyphus Orde Baru mulai terpeleset kakinya setelah berhasil membawa “batu pencapaian”-nya ke puncak. Bagi saya pribadi, yang masih mengenakan seragam merah putih dan asyik main bentengan dan gobag sodor di sekolah (itupun jika diajak) ketika film ini dibuat.

Namun rilisnya pada tahun 2008 mengejutkan. Kantata Takwa masih mampu menyuntikkan energi dan ilhamnya ke generasi yang sedang kebingungan sekarang ini, jika saja mereka memilih untuk mengapresiasinya. Dengan gabungan narasi teatrikal, sureal dan dokumenter, Kantata Takwa meneriakkan rasa frustrasi sebuah bangsa yang sedang terluka oleh kemajuan dan kebesaran yang dipaksakan pemimpinnya. Bukan tak mungkin jika diedarkan pada masa pembuatannya, Kantata Takwa mampu menjadi katalis gerakan budaya dan people power yang masif, tentu dengan risiko bedil yang masih teramat galak. Mendadak seniman seindonesia (semestinya) teringat lagi peran mereka ke masyarakat: mengamati, memetakan, merenungkan dan menuangkannya –sembari menggugat jika perlu, dan seringkali perlu– dalam bentuk karya.

Memang Kantata Takwa adalah sebuah karya yang sangat beruntung. Sokongan visi, dana, dan jaringan pengaruhnya langka didapat calon-calon karya yang lain. Apakah kita harus selalu menunggu seseorang yang memiliki itu semua sebelum menciptakan karya yang memberikan sumbangsih? Inilah PR besar bagi generasi saya dan sesudahnya, yang tak dapat mengelak dari energi Kantata Takwa, sekali lagi, jika kita memilih untuk tidak abai terhadap masalah sekitar kita. (Ifan Adriansyah Ismail, IA)


3. Teak Leaves at the Temple (2008, Garin Nugroho)

Kesenian itu adalah kebermainan. Maka sang seniman itu pun memakai baju Superman dan “terbang” di sela pucuk-pucuk jagung. Itu belum semua. Tunggu sampai ia berargumen tentang teologinya yang canggih-canggih bodoh (atau bodoh-bodoh canggih?). Juga ketika musisi jazz asal Selandia Baru itu mengibaratkan musiknya seperti struktur Borobudur. Kita bertanya: mana yang main-main dan mana yang serius? Apalagi ketika Garin memperlihatkan suara lesung sehari-hari saja bisa sama ritmisnya dengan musik yang teorinya hebat-hebat itu. Film dokumenter Garin Nugroho ini bahkan tak tercantum dalam filmografi yang ia terbitkan dalam bukunya bebera waktu lalu. Namun sesungguhnya menonton film ini merupakan salah satu pengalaman sinematik paling otentik ketika dari chaos kita berusaha keras menyusun ketertiban dan akhirnya tiba pada rasionalisasi yang sia-sia atas kegagalan usaha itu. Maka kembali pada yang terpenting: bermainlah! (ES)

Film ini dengan sangat percaya diri menyoal kembali pengertian “dokumenter”, dan menjadi wahana percakapan antara seni (musik) Barat dan Timur yang ternyata belum jadi persoalan basi. Gagasan-gagasan besar berjalin dengan kenyataan keseharian kampung-kampung sekitar Merapi. Film ini, lebih jelas atau lebih langsung dari Opera Jawa, membuktikan bahwa seni dan budaya Indonesia memang selayaknya bercakap bahkan berlaga di arena seni-budaya dunia. (HD)


4. Impian Kemarau (2004, Ravi Bharwani)

Di tengah padang gersang Gunung Kidul, jalinan cinta yang rumit antara peneliti cuaca dari Jakarta dengan seorang sinden pujaan desa menjadi cermin bahwa ilusi dan harapan adalah sisi dari keping mata uang yang sama. Ini tema biasa. Hanya saja pembuat film ini menginginkan kita untuk jadi bijaksana dan tak tertipu pengkutuban yang terbit tergesa dari olah pikir dan rasa manusia semacam itu Tibalah kita pada cara kerja puisi yang mahir sekali menangkap nuansa. Jika ada puitika dalam cara bercerita film Indonesia, maka Impian Kemarau adalah bentuk sempurnanya.  Film ini mengandalkan ritme dan perumpamaan (bukan plot dan kesatuan ruang dan waktu) untuk bercerita tentang kaitan antara seksualitas dan struktur kekuasaan serta keputusasaan manusia yang dibawa mati. Bukan hanya bahwa ungkapan puitis film ini berhasil dengan sempurna, tapi juga ia bercerita dengan pahit tentang sebuah ironi yang keras, sekeras kehidupan politik yang tak punya kompromi dan culas. Bahkan film Indonesia kontemporer dengan kekisahan “prosaik” saja tak ada yang bicara sekeras ini. (ES)

Ravi Bharwani sadar betul bahwa film adalah sebuah bahasa dan tanda. Dan ia pun mengeksplorasi bahasa audio visual dan jadilah sebuah film yang puitis—bahkan dianggap JB Kristanto sebagai film puitis Indonesia yang paling berhasil, mengalahkan Cinta dalam Sepotong Roti. Film ini sensual tapi tak terjebak murahan;juga politis, karena juga menyinggung trik-trik pemilu dan kampanye. Tembang-tembang yang disenandungkan Asih sang sinden adalah salah satu cara bertutur di film ini, mengingat sedikit sekali dialog. Impian Kemarau adalah bukti sinerginya cerita yang kuat dan sinematografi yang indah, serta cara bertutur yang segar. Sebuah puisi yang menawan. Dan ide-ide yang disampaikan di film ini jelas adalah reaksi terhadap perubahan politik tahun 1998. Satu lagi: berapa banyak profesi meteorolog dipresentasikan di layar perak? (EI)

Bagaimana menyuarakan diri di tengah masyarakat yang mengagungkan diam? Tampaknya Ravi Bharwani percaya: lewat puisi visual. Tanpa dialog, dan hanya ada rentetan visual yang jelas tautannya, dan selalu menggetarkan. Jikapun ada dialog, fungsinya hanya sebatas ambience atau sekadar “kutipan dalam esai”, minus teks esainya sendiri.

Berlatar dataran Gunung Kidul yang kering kerontang dan seorang ahli cuaca terasingkan yang berniat baik, Impian Kemarau menyajikan tiga jenis konstruksi penjara bagi segala niat manusianya: budaya, alam dan sikap abai penguasa yang menjelma sikap jahat. Dalam penjara serupa itu, kerapkali hasrat terpendam yang beraroma seks menjadi saluran yang tersisa, sekaligus yang paling mendasar, seolah ingin menjerit, “Yang ini tak dapat kau kuasai.” Maka dengan logika berpuisi, Impian Kemarau –meskipun masih naratif– lebih kuat dalam memberikan impresi, menanamkan bibit ide, sekaligus berteriak menggugat. Selemah apapun teriakan itu. (IA)


5. Eliana-Eliana (2002, Riri Riza)

Ibu yang cemas dan anak perempuan yang berkeras. Keduanya bertemu dalam satu malam tergesa di Jakarta. Tenggat jatuh esok hari, dan kau nak, harus pulang bersamaku untuk mengejar mimpimu. Tidak bunda, mimpiku di sini. Kota gila ini bukan apa-apa, bunda cukup percaya saja padaku. Dan kita di bangku penonton tahu, keduanya tak begitu yakin dengan kata-kata mereka. Film ini bisa menjadi banyak jembatan yang mewakili kehidupan kita. Kerasnya Jakarta yang pada film-film Indonesia banyak dekade terdahulu dipandang sebagai monster kejam, pada film ini tiba-tiba menjadi sesuatu yang akrab. Jakarta bagai seorang tua yang mengamati dua generasi mencoba saling memahami diri. Tiba-tiba kita tersadar bahwa kota ini bisa jadi diam-diam memberi banyak pada penduduknya. Hal penting lain tentang Eliana-Eliana: inilah sebuah film dengan topik pembicaraan mengenai kemandirian perempuan sedemikian intensif tanpa ada jargon sepatahkatapun tentang hal itu. (ES)

Menukik ke dalam jantung kota, tapi juga lebih-lebih lagi, menukik ke dunia batin perempuan Indonesia masa kini. Malah, boleh jadi kita bisa mengabaikan saja keperempuanan itu: ini film yang menjadi teladan capaian film personal di Indonesia mutakhir. Di tengah kesulitan menguatkan individu, di tengah belantara identitas-identitas plastik dalam televisi, bilbor, serta ideologi “sukses” dan industri motivasi, film ini lantang menjadikan kegalauan personal sebagai bagian sah Indonesia. Film terbaik Riri Riza. (HD)

Dengan semangat idealisme I-Sinema (kemana ya gerakan estetika itu ketlingsut?) dan pendekatan Neorealisme, Riri Riza (dibantu Prima Rusdi) membongkar mitos-mitos masa Orde Baru di balik isu gender seperti Bapakisme dan State Ibuism.  Kedua isme ini menamsilkan negara sebagai sebuah keluarga, dan  menekankan hakikat seorang wanita adalah istri yang “ikut suami” dan “ratu rumah tangga” dengan fungsi reproduksi dan mengurusi anak-anak—lengkap dengan organisasi seperti Dharma Wanita, PKK, dan asas kekeluargaan–sementara kuasa tertinggi di tangan “bapak”. Karenanyalah, representasi wanita karir dalam film-film Orba kebanyakan negatif. Tapi Eliana menolak untuk menikah dengan diplomat muda pilihan ibunya—otomatis menolak pengiburumahtanggaan dan domestifikasi–dan lari ke Jakarta. Sedangkan Bunda adalah sosok pengganti peran ayah yang memastikan ideology gender itu tetap berlaku. Di sini, pria selalu negatif. Jika di  dua ideologi itu tiada tempat bagi perempuan sebagai individu, di sini Eliana (dan Bunda) adalah individu-individu yang tegar.

Dialog ibu dan anak sepanjang malam ini menguak persoalan institusi perkawinan, peran perempuan sebagai anak dan istri, dan jurang dua generasi. Film road movie ini juga menyusuri sisi lain Jakarta, wajah yang kumuh dan muram. (EI)


6. Pachinko and Everyone’s Happy (2000, Harry ‘Dagoe” Suharyadi)

Dalam film panjang pertamanya ini, Harry Suharyadi, akrabnya dipanggil Harry Dagoe, berhasil mengatasi sekat budaya dan lokasi untuk bicara soal mendasar manusia. Dagoe bercerita bahwa membangun saling pemahaman itu bukan hanya sulit, tetapi juga nyaris mustahil. Dengan elemen artistik yang membuat kita sulit membedakan apakah film ini berasal dari Jepang atau Indonesia, film ini menandai salah satu era pasca Soeharto, yaitu ketika cara ucap sudah menjadi tak berbatas, hibrid dan mudah didaku. Yang membedakan karya ini dari sekadar epigon adalah: bukan sekadar pada keberanian tema, tapi keberhasilan berceritanya mengantar pembuat film ini mendaku cara ucap universal film dan sebagai miliknya sendiri, sesuatu yang, pada awal 2000-an, jarang ditemukan pada filmmaker semasanya. (ES)

Film Indonesia dekade awal 2000-an yang penting, justru karena kekaburannya akan “yang Indonesia”. Film ini terjun bebas ke pusaran persoalan kota dunia, menelusuri mosaik manusia dan kota, dan seks. Kosmopolitanisme bukan lagi sesuatu yang asing atau masih ajaib dan memancing takjub dalam film ini. Justru, film ini bekerja sepenuhnya dalam kenyataan kosmopolitan itu. Dari segi ini, nyatalah bahwa film ini pun sesungguhnya generasional: suara sebuah generasi, sebuah Indonesia masa kini. (HD)

Harry Dagoe agaknya berhasil menangkap jiwa zaman warga Jepang kala itu lewat tiga generasi perempuan: industri film biru yang marak, fetishisme, judi pachinko, dan peran Geisha di masa modern. Di sini, Harry juga mengeksplorasi pendekatan Yasujiro Ozu, yaitu meletakkan kamera di posisi  duduk di atas tatami, alas lantai yang khas Jepang. Inilah film terbaik Harry  Dagoe. Di sini, Harry berperan sebagai warga dunia global yang bergaul secara kosmopolit. Thus, film ini mempertanyakan definisi “film nasional” yang ketat, seraya meretas jalan bagi istilah “film global”, “film diaspora”, “film transnasional” atau apapun namanya bagi perfilman Indonesia (EI)


7. Jermal (2009, Ravi Bharwani, Rayya Makarim, Utawa Tresna)

Usmar Ismail dan Teguh Karya sudah membangun tradisi film Indonesia yang bercerita tentang manusia yang berada dalam dunia antara atau limbo. Jermal meneruskannya dengan mendadar bahwa penyebab kegamangan itu bukan gagasan besar, bukan birokrasi, bukan pula lingkungan, melainkan pedalaman batin diri sendiri. Manusia limbo itu harus berhadapan fakta yang mungkin membuat Chairil Anwar kecewa: jauh luka dibawa berlari, tak juga hilang pedih-perih. Ternyata, luka yang sempat dirasa bukan perkara itu, hanya disembunyikan di bawah karpet saja, sampai tiba saatnya karpet itu harus dibuka. Maka Jermal adalah sebuah kisah yang menelisik jauh ke dalam pedalaman batin manusia Indonesia yang berada dalam dua dunia yang terpisah tapi saling berhubungan: pendidikan dan kemiskinan. (ES)

Film ini juga penting untuk melengkapi perspektif sinema kiwari Indonesia tentang sekolah, bersama Laskar Pelangi. Jika Laskar Pelangi memandang sekolah sebagai sarana untuk menjadi sukses, dalam melawan kemiskinan, Jermal sebaliknya: baju seragam sekolah dan buku-buku pelajaran tak bermakna dalam sebuah bentuk kemiskinan absolut di tengah laut itu. Tapi, ternyata kemudian, ilmu tetap jadi jalan keluar. Bukan dengan membuat si pelajar jadi sukses dan kaya, tapi dengan menciptakan pilihan dunia “lain” (surat, puisi, dongeng) tempat hidup yang begitu keras jadi lebih tertahankan. Dan ketika dunia “lain” itu tercipta, maka dunia yang sebelumnya mandeg pun mulai bergerak –entah ke mana. Perspektif tentang sekolah yang berbeda antara kedua film itu mencerminkan akar ideologis dalam modus memahami salah satu persoalan terbesar Indonesia saat ini: masalah kemiskinan. Walau, jelas pula, film ini bukanlah film yang secara langsung bicara tentang kemiskinan, apalagi berpretensi menyodorkan solusi. Jermal adalah potret manusia-manusia dalam keterkucilan yang ekstrem, kemiskinan jiwa-raga yang terlalu. (HD)

Seperti inilah film Indonesia yang ingin saya tonton. Jermal membawa saya berkenalan dengan bagian Indonesia yang tidak pernah saya amati betul wajahnya. Saya lahir di pulau, dan sering melewati jermal-jermal sepanjang perjalanan antar pulau untuk berwisata. Tapi apa yang saya tahu tentang kehidupan di Jermal itu? Nyaris tidak ada. Jermal tidak hanya mencomot lokasi eksotis (dilaut, benar benar ditengah laut) untuk sekedar memberi latar pada kisah bapak-anak di film ini. Di Jermal, lokasi itu ikut menjadi tokoh sendiri, berperan sangat penting dalam membentuk karakter tokoh-tokohnya.   Jermal bisa terlihat sangat garang ketika menjadi tempat bernaung seorang pelarian, sekelompok anak-anak miskin, dan seorang bisu. Tapi Jermal juga bisa terlihat sangat rapuh, ketika aparat-aparat hukum datang memeriksa. Kita sadar, hal seperti ini hanya ada di Indonesia. Dan rasanya, baru film inilah yang bisa memotret Indonesia di lautnya sendiri. (Asmayani Kusrini, AKU)

Tokoh Pak Bei dalam novel Canting mengomel, “Kamu tersinggung, tapi diam saja. Itu Indonesia.” Dari segi cara, mungkin ‘diam’ itu lebih pas ke yang “Jawa”. Namun tak dapat ditampik, di luar gaya berbudaya per lokalnya, manusia dalam masyarakat Indonesia bermasalah dalam menghadapi lukanya. Sebuah problem Indonesia modern? Yang jelas, Jermal memberikan satu contohnya. Johar yang menghadapi luka dahsyat dalam hidupnya memilih untuk lari dan memencilkan diri di sebuah tempat yang tampak sureal namun sayangnya nyata. Sebuah jermal, anjungan pemancingan ikan yang memperkerjakan anak-anak di bawah umur, mengisolasi mereka selama berbulan-bulan.

Lewat tokoh Jaya, bocah SMP yang terpaksa berurusan dengan Johar, Jermal memperlihatkan akibat dari luka yang dibiarkan tak terurus itu. Sebelumnya, sebuah adegan lucu yang membuat sedikit lega memberikan gambaran betapa dunia anak-anak yang masih belum terlampau banyak dosa itu sedemikian luas dan magis. Ketika busuknya luka mulai meranggas dan meracuni dunia yang tak berdosa itu, barulah (semestinya) orang sadar bahwa luka memang harus dihadapi. Jermal, dalam semestanya yang mungil dan tragis, berkata bahwa penyembuhan itu mungkin. (IA)


8. Babi Buta yang Ingin Terbang (2008, Edwin)

Tak ada kartografer semahir Edwin dalam membuat peta hubungan antara anggota keluarga dan problem identitas mereka. Edwin berangkat dari pengalaman masa kecil dan pertanyaan berumur beberapa dekade yang tak pernah ia tanyakan. Maka ketika pertanyaan itu bisa diajukan, jawaban tak penting lagi bukan?
Inilah film yang lebih banyak berisi pertanyaan ketimbang jawaban. Pertanyaan-pertanyaan itu dirancang sedemikian rupa oleh Edwin untuk mengganggu penontonnya karena ia tahu hanya dengan cara itu ia bisa sungguh-sungguh bertanya. Jadi, tak usahlah heran dengan adegan trios-a-manage yang kelewat panjang, atau I Just Called to Say l Love You yang selalu terasa salah tempat, atau kacamata hitam yang menyebalkan itu. Itu semua adalah bagian dari pertanyaan yang maha penting bagi seorang Edwin. Tapi saya setuju pada semangat “bertanya atau mati” pada diri Edwin ini. Pertanyaan Edwin, saya rasa, adalah pertanyaan saya juga. (ES)

Karya-karya Edwin selalu tumbuh dari premis visual, bukan premis cerita. Seluruh film pendek fiksinya lebih jauh menunjukkan: Edwin berpikir secara audiovisual dalam mendekati dunia di sekitarnya –ia adalah manusia filmis totok. Tapi, ia seorang filmis yang berjiwa, karena cara berpikir visualnya adalah sebuah tanggapan personal atas banyak hal yang sedang terjadi di Indonesia. Ketika modus operandi ini diterapkan dalam sebuah film panjang, Babi Buta Yang Ingin Terbang ini, kita pun mendapati sebuah defamiliarisasi total terhadap Indonesia. Sederhananya, lewat film ini, Edwin berhasil mencipta sebuah dunia yang khas dan menjadi –seperti selayaknya sebuah puisi  yang baik menurut Chairil Anwar. Tapi, Babi Buta adalah sebuah puisi visual generasi baru: generasi yang ditandai oleh menjadinya puisi-puisi Afrizal Malna di dunia sastra. Dunia benda, rupa, media, pop, dan cenderung nihilistik, tapi juga keras kepala mencari-cari makna –sekabur atau seganjil apa pun. (HD)


9. Rindu Kami Pada-Mu (2005, Garin Nugroho)


Bayangkan privilese orang-orang tertentu untuk menjadi subjek sinema. Salah satu pakem Hollywood, mengenal zero to hero, ketika seorang dokter atau ilmuwan biasa-biasa saja bisa menjadi penyelamat dunia. Film Garin Nugroho ini mengabaikan tokoh dan karakter yang sedemikian. Alih-alih, ia berangkat dan tiba pada kehidupan sehari-hari dengan segala tetek bengeknya – yang ternyata punya heroismenya sendiri. Heroisme yang sederhana ini seharusnya menjadi usulan bagi religiusitas kolektif kita. Film ini berangkat dari kepercayaan kemampuan manusia untuk menjadi dan berbuat baik, tak peduli kerangka agama yang dianutnya. Rasanya kita diingatkan kata-kata almarhum Nurcholis Madjid: “ada agama saja, begitu banyak kerusakan di dunia, apalagi jika tak ada.” Garin seperti memperlihatkan optimisme (minus kenaifan) semacam itu dalam memandang agama dan manusia: pada dasarnya manusia itu baik dan agama adalah semacam kerangka menuju kebaikan itu. (ES)


10. Lukas’ Moment (2006, Aryo Danusiri)

Lukas’ Moment adalah salah satu film yang menegaskan betapa masalah kemiskinan dan pendidikan di Indonesia begitu berkarat hingga pada tahap yang sudah sangat memprihatinkan. Tunggu. Jangan salah sangka. Film ini bukan film yang suram, juga bukan film yang memohon belas kasih. Lukas’ Moment adalah film dokumenter yang manis, tentang Lukas yang naif. Dengan kameranya, Aryo Danusiri membawa kita berkelana ke sudut Papua, berkenalan dengan salah satu anak yang sedang berjuang membuka usaha sendiri.  Kita diajak ikut tertawa dengan tindakan Lukas, ikut gemas dengan kenaifannya, urut dada dengan kemiskinannya. Lukas’ Moment juga membuat kita ikut bersimpati, betapa mereka-mereka yang terpinggirkan, sadar bahwa mereka berada di pinggiran, toh tetap punya semangat untuk terus berusaha dipinggiran.  Tapi film ini lantas membuat kita sadar, kita sebagai bangsa Indonesia, punya banyak sekali pekerjaan yang harus segera diselesaikan. (AKU)


11. Marsinah (2000, Slamet Rahardjo)

Marsinah adalah nyata: buruh yang terbunuh, diduga akibat kegiatannya yang gencar melakukan demonstrasi dan protes terhadap para tuan pabrik tempatnya bekerja. Siapa pembunuhnya? Film ini justru berangkat dari pelebaran “ajaib” tragedi itu: pengambinghitaman brutal beberapa pegawai pabrik atas pembunuhan Marsinah. Film ini nyaris tak berkedip memandang kebrutalan itu: militer dan polisi yang main culik, interogasi yang biadab, masyarakat yang sebagian besar mudah dimanipulasi, penanganan politik tipikal rezim Soeharto, dan hukum yang malah menjadi alat kekuasaan yang bengis. Di film ini, Slamet Rahardjo mendepak kecenderungan stilistikanya, dan mendekati isu ini dengan kronologis selayak dokumenter. Slamet rupanya paham benar, film ini tak perlu hiasan karena tragedi Marsinah adalah nyata –dan masih jadi luka kita yang belum sembuh juga. (HD)

Dengan berani, Slamet Djarot menggunakan dan menampilkan nama-nama dan jabatan asli para oknum yang bermasalah pada kasus Marsinah. Pun dengan memakai sudut pandang yang menurut banyak orang terkesan tidak menonjolkan sosok Marsinah. Malah, ia menekankan betapa kejamnya petugas yang memeriksa tersangka, yang menyebabkannya keguguran, Tapi, itulah pernyataan bahwa ketidakadilan dan penyiksaan bisa dilakukan dan menimpa siapa saja. Sebuah terobosan yang berani. Sejak menonton film ini, lagu Mau Marah, Silahkan dari The Favourite menjadi berbeda. (EI)

Akhir tahun 2001, hukum di Indonesia sedang jadi bahan olok-olokan dalam lakon dagelan ‘Tertangkapnya Tommy  Suharto”.  Para penegak hukum sedang ingin unjuk kebolehan kepada rakyat, bahwa ternyata, mereka bekerja juga. Keras pula. Satu-satu kasus-kasus hukum kelas teri ditindak lanjuti. Tapi apakah mereka ingat Marsinah?. Film Marsinah karya Slamet Rahardjo ini  seperti jawaban lirih terhadap pertanyaan itu. Film ini jadi sangat penting secara politis dan sinematografis. Secara politis, tidak hanya karena kehadiran film ini mengingatkan kacau balaunya dunia hukum Indonesia. Marsinah hadir ketika euforia reformasi mulai redup redap tertiup kenangan masa lalu tentang ‘lebih enaknya hidup’ di era Soeharto.  Benarkah lebih enak? Coba tonton Marsinah. Dengan teknik sinematografis yang sangat efektif, Slamet Rahardjo membingkai film ini begitu sempit, secara psikologis memenjarakan penonton hingga merasa seperti terus-terusan berada dalam ruang-ruang sempit suram dengan aktivitas atau percakapan misterius yang berlangsung diruang-ruang sebelah. Kita tahu, ada sesuatu yang terjadi, tanpa tahu harus berbuat apa.  (AKU)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar