Inilah daftar lengkap 33 Film
Indonesia terpenting dekade 2000-2009 versi Rumah Film. Jangan lewatkan tulisan
pengantarnya oleh redaktur kami, Ekky Imanjaya dan Hikmat Darmawan.
1. Opera
Jawa (2006, Garin Nugroho)
Dengan mengadaptasi kisah Ramayana
secara longgar, Garin menggambarkan Indonesia sebagai hasil dari benturan
ekonomi politik yang keras dalam lingkungan domestik, tempat laki-laki dan
perempuan terlibat pertarungan sampai mati mempersoal seksualitas dan peran
masing-masing. Bukan kebetulan jika perempuan – dan ibu – memainkan peran
penting dalam kisah ini karena tampak ada keyakinan Garin tentang ibu sebagai
sebuah perwujudan ilahi, mirip kisah Dewi Sri dalam kepercayaan Jawa.
Tambahan lagi di film ini Garin juga
memperlihatkan bahwa film tak cuma perpanjangan dari fotografi atau seni
pertunjukan modern, tapi film juga bisa merupakan perpanjangan dari sendratari,
sebuah kesenian rakyat yang begitu dikenal di negeri bernama Indonesia. Garin
juga cukup pede untuk membawa komposisi gamelan, seni instalasi, tari
tradisional Jawa dan kesenian hibrida nyetrik Eko Sulistianto dan Ki Slamet
Gundono ke dalam campur sari kontemporer ini. Hasilnya adalah sebuah
kemungkinan baru bagi kesenian bernama sinema. (Eric Sasono, ES)
Keberhasilan Garin dalam film ini
adalah mencapai puncak dari perjalanan estetikanya sendiri sejak mula ia
membuat film dokumenter dan cerita pada awal 1990-an: film-filmnya selalu
sebuah percakapan antara yang Jawa, yang Indonesia, dan yang dunia; antara yang
modern dan yang tradisional. Opera Jawa adalah puncak percakapan itu.
Sekilas tonton, ia adalah makhluk ganjil –opera dalam rupa film, dan dalam ucap
seni khas Jawa berbaur dengan seni kontemporer. Karena ganjil, mudah bagi
banyak orang untuk mengibasnya, menganggapnya sebagai “sok aneh” dan elitis.
Fakta bahwa ia dapat ditonton dengan asyik oleh baik penonton Eropa maupun para
pedagang angkringan dan tukang becak di alun-alun Jogjakarta memberi
kerangka lain: film ini, dalam keganjilannya, telah membongkar batas-batas dan
prasangka-prasangka awal kita tentang tontonan, penonton, serta tindakan
menafsir sebuah film. Mungkin saja ia tak memberi nyaman bagi kelompok tertentu
penontonnya, kelompok yang dengan kukuh mempertahankan kotak “bagaimana
seharusnya film itu”. Film ini memang hadir tanpa apologi: ia hanya hendak ada,
mungkin mengganggu, dan justru karena itulah ia membuka banyak pintu pembacaan.
Di tengah kebebasan berekspresi sesudah Reformasi 1998, aneh sekali bahwa
kebebasan dan kelenturan macam begini justru terasa amat jarang. (Hikmat
Darmawan, HD)
“Ini tidak seperti semua yang pernah
saya lihat sebelumnya,” seorang teman, programmer Yamagata International
Documentary Film Festival, berkomentar tentang Opera Jawa. Dia
menceritakannya dengan berbinar. Tapi, tak lama sesudahnya saya berjumpa
seorang kritikus film pengelola jurnal film internasional. Ia, sebaliknya
mengeluhkan Opera Jawa. “Garin terlambat. Apa yang dilakukannya sudah
dilakukan orang seperti Peter Brooks di tahun 1980-an.” Dengan bekal dua
pendapat itulah saya kemudian menonton Opera Jawa untuk pertamakalinya.
Mungkin fakta bahwa saya menyaksikan
Opera Jawa di negeri asing punya peran dalam pembentukan pendapat saya
tentang film yang sangat Indonesia ini. Tapi, sungguh, sangat jarang
saya menonton sambil tersenyum sepanjang film. Di film ini, terasa sekali Garin
sepenuhnya bermain-main, dan ia berhasil menulari saya. Jika puncak keseriusan
ada pada kebermainan, Opera Jawa berhasil mencapainya. Hanya tentu bukan itu
yang membuat saya tanpa ragu menempatkan Opera Jawa dalam puncak daftar
ini. Tapi, melihat seluruh film Indonesia dalam daftar, sangat jelaslah
hanya Opera Jawa yang aktif turut serta dalam “diskusi” intens tentang
eksplorasi naratif, ekperimen alternatif form maupun pertanyaan mendasar
tentang hakikat sinema yang kini tengah berlangsung di sinema dunia. (Krisnadi
Yuliawan, KY)
2. Kantata Takwa
(2008, Gotot Prakosa dan Eros Djarot)
Agenda yang dibawanya bisa jadi
milik dekade sebelumnya, yakni 1990-an. Tapi, perlawanan seniman terhadap
kekuasaan agak sulit dikerangkakan sesempit itu. Sepintas, apa yang dibawa Kantata
Takwa seperti tak relevan lagi pada dekade 2000-an. Perlukah seorang
seniman berteriak “bongkar!” sambil mengepalkan tinju kepada ketidakadilan
ketika penguasa lalim bernama Soeharto sudah turun dari tahtanya? Jawabnya:
perlu! Karena film ini justru mengingatkan bahwa film masihlah kesenian, dan
kesenian, masihlah punya relevansi sosial politik yang tinggi. Karena
perlawanan kini bisa berbentuk berbeda, tapi semangat seperti Iwan Fals
bernyanyi di tepi kali bersama “anak-anak singkong” adalah wakil sebuah sikap
yang harus terus ada. Serupa ketika salah satu pahlawan Asia ini
menyenandungkan Laa Ilaaha Ilallah sambil telanjang dada.
Inilah dia: sesungguhnya selalu ada yang namanya kompromi dan kemapanan; dan
film ini mengingatkan bahwa jalan hidup seorang seniman adalah tidak menerima
hal-hal itu begitu saja. (ES)
Kantata Takwa
adalah sebuah kesetiaan pada proses: 18 tahun dari konsep, syuting, hingga
menjadi film, adalah sebuah capaian tersendiri. Sengaja atau tidak, proses
panjang itu bagai waktu yang menyempurnakan anggur terbaik. Dan film ini adalah
campuran terbaik dari rock aliran progresif, teater dan sastra, serta
sinema. Film ini, anehnya, juga adalah salah satu film yang paling terlibat
dalam persoalan masyarakat Indonesia dalam dekade awal 2000-an. Film ini jelas
berpolitik, dan politiknya jelas: anti rezim represif, anti-kemandegan. (HD)
Apakah ini film musikal? Semi-dokumenter?
Eksperimental? Puitis? Label dan cap tak bisa mengurung dan membatasi film ini.
Ia menunjukkan jati dirinya sendiri dan meneriakkan protes kritis mereka
terhadap kekuasaan. Inilah kombinasi sempurna dari orang-orang terhebat di
bidangnya, di antaranya: Iwan Fals, Rendra, Erros Djarot, dan Gotot Prakosa.
Nilai lebih bagi pencinta band Kantata Takwa: mereka akan dibawa bernostalgia
dan bahkan berkaraoke saat menonton! Walau dibuat awal 1990an, namun
pernyataannya masih relevan hingga saat ini. Dan ketika ide sebuah karya bisa
terus bergema tanpa bisa diusangkan waktu, inilah salah satu ciri sebuah
mahakarya (Ekky Imanjaya, EI).
Gamblangnya, mungkin orang mudah
untuk mengklaim Kantata Takwa hanya bisa lebih berbicara pada zamannya,
yaitu ketika Sisyphus Orde Baru mulai terpeleset kakinya setelah berhasil
membawa “batu pencapaian”-nya ke puncak. Bagi saya pribadi, yang masih
mengenakan seragam merah putih dan asyik main bentengan dan gobag sodor di
sekolah (itupun jika diajak) ketika film ini dibuat.
Namun rilisnya pada tahun 2008
mengejutkan. Kantata Takwa masih mampu menyuntikkan energi dan ilhamnya
ke generasi yang sedang kebingungan sekarang ini, jika saja mereka memilih
untuk mengapresiasinya. Dengan gabungan narasi teatrikal, sureal dan
dokumenter, Kantata Takwa meneriakkan rasa frustrasi sebuah bangsa yang
sedang terluka oleh kemajuan dan kebesaran yang dipaksakan pemimpinnya. Bukan
tak mungkin jika diedarkan pada masa pembuatannya, Kantata Takwa mampu
menjadi katalis gerakan budaya dan people power yang masif, tentu dengan risiko
bedil yang masih teramat galak. Mendadak seniman seindonesia (semestinya)
teringat lagi peran mereka ke masyarakat: mengamati, memetakan, merenungkan dan
menuangkannya –sembari menggugat jika perlu, dan seringkali perlu– dalam bentuk
karya.
Memang Kantata Takwa adalah
sebuah karya yang sangat beruntung. Sokongan visi, dana, dan jaringan
pengaruhnya langka didapat calon-calon karya yang lain. Apakah kita harus
selalu menunggu seseorang yang memiliki itu semua sebelum menciptakan karya
yang memberikan sumbangsih? Inilah PR besar bagi generasi saya dan sesudahnya,
yang tak dapat mengelak dari energi Kantata Takwa, sekali lagi, jika
kita memilih untuk tidak abai terhadap masalah sekitar kita. (Ifan
Adriansyah Ismail, IA)
3. Teak Leaves at the Temple
(2008, Garin Nugroho)
Kesenian itu adalah kebermainan.
Maka sang seniman itu pun memakai baju Superman dan “terbang” di sela
pucuk-pucuk jagung. Itu belum semua. Tunggu sampai ia berargumen tentang
teologinya yang canggih-canggih bodoh (atau bodoh-bodoh canggih?). Juga ketika
musisi jazz asal Selandia Baru itu mengibaratkan musiknya seperti struktur
Borobudur. Kita bertanya: mana yang main-main dan mana yang serius? Apalagi
ketika Garin memperlihatkan suara lesung sehari-hari saja bisa sama ritmisnya
dengan musik yang teorinya hebat-hebat itu. Film dokumenter Garin Nugroho ini
bahkan tak tercantum dalam filmografi yang ia terbitkan dalam bukunya bebera
waktu lalu. Namun sesungguhnya menonton film ini merupakan salah satu
pengalaman sinematik paling otentik ketika dari chaos kita berusaha keras
menyusun ketertiban dan akhirnya tiba pada rasionalisasi yang sia-sia atas
kegagalan usaha itu. Maka kembali pada yang terpenting: bermainlah! (ES)
Film ini dengan sangat percaya diri
menyoal kembali pengertian “dokumenter”, dan menjadi wahana percakapan antara
seni (musik) Barat dan Timur yang ternyata belum jadi persoalan basi.
Gagasan-gagasan besar berjalin dengan kenyataan keseharian kampung-kampung
sekitar Merapi. Film ini, lebih jelas atau lebih langsung dari Opera Jawa,
membuktikan bahwa seni dan budaya Indonesia memang selayaknya bercakap bahkan
berlaga di arena seni-budaya dunia. (HD)
4. Impian Kemarau
(2004, Ravi Bharwani)
Di tengah padang gersang Gunung
Kidul, jalinan cinta yang rumit antara peneliti cuaca dari Jakarta dengan
seorang sinden pujaan desa menjadi cermin bahwa ilusi
dan harapan adalah sisi dari keping mata uang yang sama.
Ini tema biasa. Hanya saja pembuat film ini menginginkan kita untuk jadi
bijaksana dan tak tertipu pengkutuban yang terbit tergesa dari olah pikir dan
rasa manusia semacam itu Tibalah kita pada cara kerja puisi yang mahir sekali
menangkap nuansa. Jika ada puitika dalam cara bercerita film Indonesia, maka Impian
Kemarau adalah bentuk sempurnanya. Film ini mengandalkan ritme dan
perumpamaan (bukan plot dan kesatuan ruang dan waktu) untuk bercerita tentang
kaitan antara seksualitas dan struktur kekuasaan serta keputusasaan manusia
yang dibawa mati. Bukan hanya bahwa ungkapan puitis film ini berhasil dengan
sempurna, tapi juga ia bercerita dengan pahit tentang sebuah ironi yang keras,
sekeras kehidupan politik yang tak punya kompromi dan culas. Bahkan film
Indonesia kontemporer dengan kekisahan “prosaik” saja tak ada yang bicara
sekeras ini. (ES)
Ravi Bharwani sadar betul bahwa film
adalah sebuah bahasa dan tanda. Dan ia pun mengeksplorasi bahasa audio visual
dan jadilah sebuah film yang puitis—bahkan dianggap JB Kristanto sebagai film
puitis Indonesia yang paling berhasil, mengalahkan Cinta dalam Sepotong Roti.
Film ini sensual tapi tak terjebak murahan;juga politis, karena juga
menyinggung trik-trik pemilu dan kampanye. Tembang-tembang yang disenandungkan
Asih sang sinden adalah salah satu cara bertutur di film ini, mengingat sedikit
sekali dialog. Impian Kemarau adalah bukti sinerginya cerita yang kuat
dan sinematografi yang indah, serta cara bertutur yang segar. Sebuah puisi yang
menawan. Dan ide-ide yang disampaikan di film ini jelas adalah reaksi terhadap
perubahan politik tahun 1998. Satu lagi: berapa banyak profesi meteorolog
dipresentasikan di layar perak? (EI)
Bagaimana menyuarakan diri di tengah
masyarakat yang mengagungkan diam? Tampaknya Ravi Bharwani percaya: lewat puisi
visual. Tanpa dialog, dan hanya ada rentetan visual yang jelas tautannya, dan
selalu menggetarkan. Jikapun ada dialog, fungsinya hanya sebatas ambience
atau sekadar “kutipan dalam esai”, minus teks esainya sendiri.
Berlatar dataran Gunung Kidul yang
kering kerontang dan seorang ahli cuaca terasingkan yang berniat baik, Impian
Kemarau menyajikan tiga jenis konstruksi penjara bagi segala niat
manusianya: budaya, alam dan sikap abai penguasa yang menjelma sikap jahat. Dalam
penjara serupa itu, kerapkali hasrat terpendam yang beraroma seks menjadi
saluran yang tersisa, sekaligus yang paling mendasar, seolah ingin menjerit,
“Yang ini tak dapat kau kuasai.” Maka dengan logika berpuisi, Impian Kemarau
–meskipun masih naratif– lebih kuat dalam memberikan impresi, menanamkan bibit
ide, sekaligus berteriak menggugat. Selemah apapun teriakan itu. (IA)
5. Eliana-Eliana
(2002, Riri Riza)
Ibu yang cemas dan anak perempuan
yang berkeras. Keduanya bertemu dalam satu malam tergesa di Jakarta. Tenggat
jatuh esok hari, dan kau nak, harus pulang bersamaku untuk mengejar mimpimu.
Tidak bunda, mimpiku di sini. Kota gila ini bukan apa-apa, bunda cukup percaya
saja padaku. Dan kita di bangku penonton tahu, keduanya tak begitu yakin dengan
kata-kata mereka. Film ini bisa menjadi banyak jembatan yang mewakili kehidupan
kita. Kerasnya Jakarta yang pada film-film Indonesia banyak dekade terdahulu
dipandang sebagai monster kejam, pada film ini tiba-tiba menjadi sesuatu yang
akrab. Jakarta bagai seorang tua yang mengamati dua generasi mencoba saling
memahami diri. Tiba-tiba kita tersadar bahwa kota ini bisa jadi diam-diam
memberi banyak pada penduduknya. Hal penting lain tentang Eliana-Eliana:
inilah sebuah film dengan topik pembicaraan mengenai kemandirian perempuan
sedemikian intensif tanpa ada jargon sepatahkatapun tentang hal itu. (ES)
Menukik ke dalam jantung kota, tapi
juga lebih-lebih lagi, menukik ke dunia batin perempuan Indonesia masa kini.
Malah, boleh jadi kita bisa mengabaikan saja keperempuanan itu: ini film yang
menjadi teladan capaian film personal di Indonesia mutakhir. Di tengah
kesulitan menguatkan individu, di tengah belantara identitas-identitas plastik
dalam televisi, bilbor, serta ideologi “sukses” dan industri motivasi, film ini
lantang menjadikan kegalauan personal sebagai bagian sah Indonesia. Film
terbaik Riri Riza. (HD)
Dengan semangat idealisme I-Sinema
(kemana ya gerakan estetika itu ketlingsut?) dan pendekatan Neorealisme, Riri
Riza (dibantu Prima Rusdi) membongkar mitos-mitos masa Orde Baru di balik isu
gender seperti Bapakisme dan State Ibuism. Kedua isme ini menamsilkan
negara sebagai sebuah keluarga, dan menekankan hakikat seorang wanita
adalah istri yang “ikut suami” dan “ratu rumah tangga” dengan fungsi reproduksi
dan mengurusi anak-anak—lengkap dengan organisasi seperti Dharma Wanita, PKK,
dan asas kekeluargaan–sementara kuasa tertinggi di tangan “bapak”.
Karenanyalah, representasi wanita karir dalam film-film Orba kebanyakan
negatif. Tapi Eliana menolak untuk menikah dengan diplomat muda pilihan
ibunya—otomatis menolak pengiburumahtanggaan dan domestifikasi–dan lari ke
Jakarta. Sedangkan Bunda adalah sosok pengganti peran ayah yang memastikan
ideology gender itu tetap berlaku. Di sini, pria selalu negatif. Jika di
dua ideologi itu tiada tempat bagi perempuan sebagai individu, di sini Eliana
(dan Bunda) adalah individu-individu yang tegar.
Dialog ibu dan anak sepanjang malam
ini menguak persoalan institusi perkawinan, peran perempuan sebagai anak dan
istri, dan jurang dua generasi. Film road movie ini juga menyusuri sisi
lain Jakarta, wajah yang kumuh dan muram. (EI)
6. Pachinko and Everyone’s Happy
(2000, Harry ‘Dagoe” Suharyadi)
Dalam film panjang pertamanya ini,
Harry Suharyadi, akrabnya dipanggil Harry Dagoe, berhasil mengatasi sekat
budaya dan lokasi untuk bicara soal mendasar manusia. Dagoe bercerita bahwa
membangun saling pemahaman itu bukan hanya sulit, tetapi juga nyaris mustahil.
Dengan elemen artistik yang membuat kita sulit membedakan apakah film ini
berasal dari Jepang atau Indonesia, film ini menandai salah satu era pasca
Soeharto, yaitu ketika cara ucap sudah menjadi tak berbatas, hibrid dan mudah
didaku. Yang membedakan karya ini dari sekadar epigon adalah: bukan sekadar
pada keberanian tema, tapi keberhasilan berceritanya mengantar pembuat film ini
mendaku cara ucap universal film dan sebagai miliknya sendiri, sesuatu yang,
pada awal 2000-an, jarang ditemukan pada filmmaker semasanya. (ES)
Film Indonesia dekade awal 2000-an
yang penting, justru karena kekaburannya akan “yang Indonesia”. Film ini terjun
bebas ke pusaran persoalan kota dunia, menelusuri mosaik manusia dan kota, dan
seks. Kosmopolitanisme bukan lagi sesuatu yang asing atau masih ajaib dan
memancing takjub dalam film ini. Justru, film ini bekerja sepenuhnya dalam
kenyataan kosmopolitan itu. Dari segi ini, nyatalah bahwa film ini pun
sesungguhnya generasional: suara sebuah generasi, sebuah Indonesia masa kini.
(HD)
Harry Dagoe agaknya berhasil
menangkap jiwa zaman warga Jepang kala itu lewat tiga generasi perempuan:
industri film biru yang marak, fetishisme, judi pachinko, dan peran Geisha di
masa modern. Di sini, Harry juga mengeksplorasi pendekatan Yasujiro Ozu, yaitu
meletakkan kamera di posisi duduk di atas tatami, alas lantai yang
khas Jepang. Inilah film terbaik Harry Dagoe. Di sini, Harry berperan
sebagai warga dunia global yang bergaul secara kosmopolit. Thus, film
ini mempertanyakan definisi “film nasional” yang ketat, seraya meretas jalan
bagi istilah “film global”, “film diaspora”, “film transnasional” atau apapun
namanya bagi perfilman Indonesia (EI)
7. Jermal (2009, Ravi
Bharwani, Rayya Makarim, Utawa Tresna)
Usmar Ismail dan Teguh Karya sudah
membangun tradisi film Indonesia yang bercerita tentang manusia yang berada
dalam dunia antara atau limbo. Jermal meneruskannya dengan mendadar bahwa
penyebab kegamangan itu bukan gagasan besar, bukan birokrasi, bukan pula
lingkungan, melainkan pedalaman batin diri sendiri. Manusia limbo itu harus
berhadapan fakta yang mungkin membuat Chairil Anwar kecewa: jauh luka dibawa
berlari, tak juga hilang pedih-perih. Ternyata, luka yang sempat dirasa bukan
perkara itu, hanya disembunyikan di bawah karpet saja, sampai tiba saatnya
karpet itu harus dibuka. Maka Jermal adalah sebuah kisah yang menelisik
jauh ke dalam pedalaman batin manusia Indonesia yang berada dalam dua dunia
yang terpisah tapi saling berhubungan: pendidikan dan kemiskinan. (ES)
Film ini juga penting untuk
melengkapi perspektif sinema kiwari Indonesia tentang sekolah, bersama Laskar
Pelangi. Jika Laskar Pelangi memandang sekolah sebagai sarana untuk
menjadi sukses, dalam melawan kemiskinan, Jermal sebaliknya: baju
seragam sekolah dan buku-buku pelajaran tak bermakna dalam sebuah bentuk
kemiskinan absolut di tengah laut itu. Tapi, ternyata kemudian, ilmu tetap jadi
jalan keluar. Bukan dengan membuat si pelajar jadi sukses dan kaya, tapi dengan
menciptakan pilihan dunia “lain” (surat, puisi, dongeng) tempat hidup yang
begitu keras jadi lebih tertahankan. Dan ketika dunia “lain” itu tercipta, maka
dunia yang sebelumnya mandeg pun mulai bergerak –entah ke mana. Perspektif
tentang sekolah yang berbeda antara kedua film itu mencerminkan akar ideologis
dalam modus memahami salah satu persoalan terbesar Indonesia saat ini: masalah
kemiskinan. Walau, jelas pula, film ini bukanlah film yang secara langsung
bicara tentang kemiskinan, apalagi berpretensi menyodorkan solusi. Jermal
adalah potret manusia-manusia dalam keterkucilan yang ekstrem, kemiskinan
jiwa-raga yang terlalu. (HD)
Seperti inilah film Indonesia yang
ingin saya tonton. Jermal membawa saya berkenalan dengan bagian Indonesia yang
tidak pernah saya amati betul wajahnya. Saya lahir di pulau, dan sering
melewati jermal-jermal sepanjang perjalanan antar pulau untuk berwisata. Tapi
apa yang saya tahu tentang kehidupan di Jermal itu? Nyaris tidak ada. Jermal
tidak hanya mencomot lokasi eksotis (dilaut, benar benar ditengah laut) untuk
sekedar memberi latar pada kisah bapak-anak di film ini. Di Jermal, lokasi itu
ikut menjadi tokoh sendiri, berperan sangat penting dalam membentuk karakter
tokoh-tokohnya. Jermal bisa terlihat sangat garang ketika menjadi
tempat bernaung seorang pelarian, sekelompok anak-anak miskin, dan seorang
bisu. Tapi Jermal juga bisa terlihat sangat rapuh, ketika aparat-aparat hukum
datang memeriksa. Kita sadar, hal seperti ini hanya ada di Indonesia. Dan
rasanya, baru film inilah yang bisa memotret Indonesia di lautnya sendiri. (Asmayani
Kusrini, AKU)
Tokoh Pak Bei dalam novel Canting
mengomel, “Kamu tersinggung, tapi diam saja. Itu Indonesia.” Dari segi cara,
mungkin ‘diam’ itu lebih pas ke yang “Jawa”. Namun tak dapat ditampik, di luar
gaya berbudaya per lokalnya, manusia dalam masyarakat Indonesia bermasalah
dalam menghadapi lukanya. Sebuah problem Indonesia modern? Yang jelas, Jermal
memberikan satu contohnya. Johar yang menghadapi luka dahsyat dalam hidupnya
memilih untuk lari dan memencilkan diri di sebuah tempat yang tampak sureal
namun sayangnya nyata. Sebuah jermal, anjungan pemancingan ikan yang
memperkerjakan anak-anak di bawah umur, mengisolasi mereka selama
berbulan-bulan.
Lewat tokoh Jaya, bocah SMP yang
terpaksa berurusan dengan Johar, Jermal memperlihatkan akibat dari luka yang
dibiarkan tak terurus itu. Sebelumnya, sebuah adegan lucu yang membuat sedikit
lega memberikan gambaran betapa dunia anak-anak yang masih belum terlampau
banyak dosa itu sedemikian luas dan magis. Ketika busuknya luka mulai meranggas
dan meracuni dunia yang tak berdosa itu, barulah (semestinya) orang sadar bahwa
luka memang harus dihadapi. Jermal, dalam semestanya yang mungil dan
tragis, berkata bahwa penyembuhan itu mungkin. (IA)
8. Babi Buta yang Ingin Terbang
(2008, Edwin)
Tak ada kartografer semahir Edwin
dalam membuat peta hubungan antara anggota keluarga dan problem identitas
mereka. Edwin berangkat dari pengalaman masa kecil dan pertanyaan berumur
beberapa dekade yang tak pernah ia tanyakan. Maka ketika pertanyaan itu bisa
diajukan, jawaban tak penting lagi bukan?
Inilah film yang lebih banyak berisi
pertanyaan ketimbang jawaban. Pertanyaan-pertanyaan itu dirancang sedemikian
rupa oleh Edwin untuk mengganggu penontonnya karena ia tahu hanya dengan cara
itu ia bisa sungguh-sungguh bertanya. Jadi, tak usahlah heran dengan adegan trios-a-manage
yang kelewat panjang, atau I Just Called to Say l Love You yang selalu
terasa salah tempat, atau kacamata hitam yang menyebalkan itu. Itu semua adalah
bagian dari pertanyaan yang maha penting bagi seorang Edwin. Tapi saya setuju
pada semangat “bertanya atau mati” pada diri Edwin ini. Pertanyaan Edwin, saya
rasa, adalah pertanyaan saya juga. (ES)
Karya-karya Edwin selalu tumbuh dari
premis visual, bukan premis cerita. Seluruh film pendek fiksinya lebih jauh
menunjukkan: Edwin berpikir secara audiovisual dalam mendekati dunia di
sekitarnya –ia adalah manusia filmis totok. Tapi, ia seorang filmis yang
berjiwa, karena cara berpikir visualnya adalah sebuah tanggapan personal atas
banyak hal yang sedang terjadi di Indonesia. Ketika modus operandi ini
diterapkan dalam sebuah film panjang, Babi Buta Yang Ingin Terbang ini,
kita pun mendapati sebuah defamiliarisasi total terhadap Indonesia.
Sederhananya, lewat film ini, Edwin berhasil mencipta sebuah dunia yang khas
dan menjadi –seperti selayaknya sebuah puisi yang baik menurut Chairil
Anwar. Tapi, Babi Buta adalah sebuah puisi visual generasi baru:
generasi yang ditandai oleh menjadinya puisi-puisi Afrizal Malna di dunia
sastra. Dunia benda, rupa, media, pop, dan cenderung nihilistik, tapi juga
keras kepala mencari-cari makna –sekabur atau seganjil apa pun. (HD)
9. Rindu Kami Pada-Mu (2005,
Garin Nugroho)
Bayangkan privilese orang-orang
tertentu untuk menjadi subjek sinema. Salah satu pakem Hollywood, mengenal zero
to hero, ketika seorang dokter atau ilmuwan biasa-biasa saja bisa menjadi
penyelamat dunia. Film Garin Nugroho ini mengabaikan tokoh dan karakter yang
sedemikian. Alih-alih, ia berangkat dan tiba pada kehidupan sehari-hari dengan
segala tetek bengeknya – yang ternyata punya heroismenya sendiri. Heroisme yang
sederhana ini seharusnya menjadi usulan bagi religiusitas kolektif kita. Film
ini berangkat dari kepercayaan kemampuan manusia untuk menjadi dan berbuat
baik, tak peduli kerangka agama yang dianutnya. Rasanya kita diingatkan
kata-kata almarhum Nurcholis Madjid: “ada agama saja, begitu banyak kerusakan
di dunia, apalagi jika tak ada.” Garin seperti memperlihatkan optimisme (minus
kenaifan) semacam itu dalam memandang agama dan manusia: pada dasarnya manusia
itu baik dan agama adalah semacam kerangka menuju kebaikan itu. (ES)
10. Lukas’ Moment (2006, Aryo
Danusiri)
Lukas’ Moment
adalah salah satu film yang menegaskan betapa masalah kemiskinan dan pendidikan
di Indonesia begitu berkarat hingga pada tahap yang sudah sangat
memprihatinkan. Tunggu. Jangan salah sangka. Film ini bukan film yang suram,
juga bukan film yang memohon belas kasih. Lukas’ Moment adalah film
dokumenter yang manis, tentang Lukas yang naif. Dengan kameranya, Aryo Danusiri
membawa kita berkelana ke sudut Papua, berkenalan dengan salah satu anak yang
sedang berjuang membuka usaha sendiri. Kita diajak ikut tertawa dengan
tindakan Lukas, ikut gemas dengan kenaifannya, urut dada dengan kemiskinannya. Lukas’
Moment juga membuat kita ikut bersimpati, betapa mereka-mereka yang
terpinggirkan, sadar bahwa mereka berada di pinggiran, toh tetap punya semangat
untuk terus berusaha dipinggiran. Tapi film ini lantas membuat kita
sadar, kita sebagai bangsa Indonesia, punya banyak sekali pekerjaan yang harus
segera diselesaikan. (AKU)
11. Marsinah (2000, Slamet
Rahardjo)
Marsinah adalah nyata: buruh yang
terbunuh, diduga akibat kegiatannya yang gencar melakukan demonstrasi dan
protes terhadap para tuan pabrik tempatnya bekerja. Siapa pembunuhnya? Film ini
justru berangkat dari pelebaran “ajaib” tragedi itu: pengambinghitaman brutal
beberapa pegawai pabrik atas pembunuhan Marsinah. Film ini nyaris tak berkedip
memandang kebrutalan itu: militer dan polisi yang main culik, interogasi yang
biadab, masyarakat yang sebagian besar mudah dimanipulasi, penanganan politik
tipikal rezim Soeharto, dan hukum yang malah menjadi alat kekuasaan yang
bengis. Di film ini, Slamet Rahardjo mendepak kecenderungan stilistikanya, dan
mendekati isu ini dengan kronologis selayak dokumenter. Slamet rupanya paham
benar, film ini tak perlu hiasan karena tragedi Marsinah adalah nyata –dan
masih jadi luka kita yang belum sembuh juga. (HD)
Dengan berani, Slamet Djarot
menggunakan dan menampilkan nama-nama dan jabatan asli para oknum yang
bermasalah pada kasus Marsinah. Pun dengan memakai sudut pandang yang menurut
banyak orang terkesan tidak menonjolkan sosok Marsinah. Malah, ia menekankan
betapa kejamnya petugas yang memeriksa tersangka, yang menyebabkannya
keguguran, Tapi, itulah pernyataan bahwa ketidakadilan dan penyiksaan bisa
dilakukan dan menimpa siapa saja. Sebuah terobosan yang berani. Sejak menonton
film ini, lagu Mau Marah, Silahkan dari The Favourite menjadi berbeda.
(EI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar