Minggu, 25 Maret 2012

BBM dan Penyelamatan APBN


Selasa, 6 Maret 2012 - 10:31 wib

Dalam berbagai kesempatan sidang kabinet selama beberapa pekan terakhir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengungkapkan rencana kenaikan harga Bahan Bakar minyak (BBM). Kenaikan harga BBM dilakukan menyusul kenaikan harga minyak dunia yang telah melampaui target Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2012.

Kenaikan harga minyak dunia itu dipicu oleh ketegangan di Timur Tengah antara Iran, Amerika Serikat, dan Uni Eropa yang kian memanas. Selain itu, kenaikan harga minyak juga disebabkan resesi ekonomi global di Eropa dan Amerika Serikat. Kompleksitas masalah di tingkat global itu tentu berada jauh di luar jangkauan kita sehingga sulit untuk mengelak. Tidak ada kepastian kapan konflik dan resesi ekonomi global itu akan berakhir dan harga minyak dunia kembali pada level harga semula.

Keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM sekaligus mengakhiri spekulasi yang berkembang selama ini terhadap rencana pemerintah untuk melakukan pembatasan konsumsi BBM. Rencana pembatasan konsumsi BBM ini memang sangat rumit dan rawan kericuhan pada pelaksanaan teknis di lapangan.

Lonjakan harga minyak dunia tentu akan membawa dampak serius bagi perekonomian nasional. Harga minyak dunia yang terus berada di atas level USD120 per barel secara otomatis akan mengakibatkan beban APBN otomatis bertambah mengingat subsidi negara terhadap BBM masih cukup tinggi.  Sementara itu, asumsi Indonesia Crude Price (ICP) dalam APBN tahun 2012 hanya sebesar USD90 per barel. Keseimbangan APBN yang terganggu akibat lonjakan harga minyak dunia cepat atau lambat akan membawa dampak negatif terhadap performa perekonomian nasional secara keseluruhan.

Tidak ada jalan lain, untuk meminimalisasi efek negatif dari akibat lonjakan harga minyak dunia pemerintah perlu mendorong efisiensi konsumsi BBM. Harga BBM yang murah karena ditopang subsidi pemerintah merupakan salah satu sebab utama inefisiensi konsumsi BBM selama ini.

Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada tahun 2011 subsidi BBM mencapai Rp92,8 triliun atau mengalami kenaikan dari besar subsidi tahun lalu yang hanya sebesar Rp88,9 triliun. Pada tahun 2010, sekitar 60% subsidi diserap oleh premium dan lebih dari separuh jumlah itu dinikmati oleh para pengguna mobil pribadi. Fakta paling mengenaskan dari kebijakan itu adalah 25% kelompok rumah tangga dengan penghasilan per bulan terendah hanya menerima alokasi subsidi sebesar 15%. Sementara itu, 25% kelompok rumah tangga dengan penghasilan per bulan tertinggi menerima alokasi subsidi sebesar 77%.

Berdasarkan data di atas terlihat jelas kelompok masyarakat mana yang sesungguhnya menimati subsidi BBM selama ini. Sungguh tidak adil bila di saat pemerintah tengah dipusingkan dengan lonjakan harga minyak dunia, tapi di saat yang sama dana subsidi BBM itu justru lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu.

Karena itu, dibutuhkan keberanian pemerintah untuk mengambil langkah strategis dalam mengatasi efek negatif lonjakan harga minyak dunia terhadap keseimbangan APBN.  Menaikkan harga BBM merupakan salah satu wujud langkah strategis itu. Keputusan untuk menaikkan harga BBM memang merupakan kebijakan yang tidak popular secara politik. Akan tetapi, jika pemerintah tidak menempuh langkah itu, maka beban subsidi di dalam APBN akan terus membengkak.

Memang, apabila pemerintah mengurangi subsidi BBM dengan melakukan penaikkan harga akan terjadi kenaikan harga-harga umum barang yang membawa tambahan beban bagi golongan berpenghasilan rendah. Karena itu, pemberian dana kompensasi guna melindungi penduduk miskin terkena dari dampak kenaikan harga BBM menjadi relevan untuk dilakukan oleh pemerintah.  Dana itu dapat diambil dari pertambahan penerimaan harga BBM yang dinaikkan tersebut.

Kebijakan kenaikan harga BBM dan pemberian dana kompensasi untuk melindungi penduduk miskin merupakan gabungan yang paling rasional untuk dilakukan saat ini dalam rangka merespons lonjakan harga minyak dunia. Jika dua hal itu mampu dilakukan pemerintah dengan baik dan cermat, maka potensi gejolak sosial dan keuangan sosial akan dapat diminimalisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar