April
19, 2012
BERLEBIHAN
rasanya bila sekilas membaca judul tulisan ini, namun itulah fakta yang
semestinya ada apabila kita ingin dikatakan sebagai bangsa yang menjunjung
nilai-nilai perjuangan. Seperti diketahui, tiap bulan April, kelahiran
R.A. Kartini (21 April) diperingati secara nasional, sementara banyak
pahlawan wanita yang tidak kalah sumbangsih perjuangannya dalam melawan penjajah
dilupakan bahkan tidak dikenal oleh generasi bangsa sekarang ini.
Sejauh
mana peran Kartini dalam mengusir penjajah? Sebandingkah dengan perjuangan Cut
Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan
Cutpo Fatimah yang terjun langsung ikut berperang melawan penjajahan di Aceh?
Coba
telusuri sosok Martha Christina Tiahahu yang gigih berjuang bersama Pattimura
di Maluku, untuk mengusir pendudukan pasukan Kape (Belanda). Apabila
dibandingkan dengan perjuangan Kartini yang hanya sebatas perjuangan lewat
tulisan, tentu tidak sebanding dengan perjuangan Martha Christina Tiahahu yang
terjun di medan pertempuran. Kodratnya sebagai perempuan tidak menyurutkan
semangat juang dalam melawan tentara Kolonial meskipun dilengkapi persenjataan
canggih. Namun apa yang kita ketahui saat ini tentang Martha Christina Tiahahu,
sangat mungkin generasi sekarang tidak banyak yang mengenal kepahlawanannya.
Ada
lagi perempuan perkasa dari timur, Herlina Efendi yang dianugerahi pending
Cendrawasih Emas dari pemerintah RI atas jasanya untuk membebaskan Irian Barat
dari pendudukan kolonial Belanda. Semestinya nama Herlina familiar dengan
generasi kita apalagi mereka yang duduk di bangku pendidikan, kurikulum sejarah
idealnya membahas biografi Herlina Efendi secara detail tanpa manipulasi data.
Kenyataannya banyak yang tidak kenal dengan seorang Srikandi dari Papua ini,
sementara jasa beliau telah ikut mengantarkan Irian menjadi jaya seperti
sekarang.
Tinta
sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia juga telah menuliskan nama Emmy Saelan
sebagai pejuang kemerdekaan RI di Sulawesi Selatan. Bersama-sama R.W.
Mongisidi, Emmy Saelan dapat melumpuhkan kekuatan kolonial Belanda yang
mempunyai persenjataan lebih baik dengan taktik-taktik cemerlangnya. Bahkan
Emmy Saelan berani bunuh diri dengan cara meledakkan granat ditangannya
sehingga menewaskan beberapa serdadu Belanda yang ingin menangkapnya.
Seharusnya
hari kematian Emmy Saelan ini diperingati secara nasional agar generasi bangsa
ini faham arti bunuh diri yang dibenarkan agama. Bukan mati konyol karena bunuh
diri dengan alasan putus cinta, banyak utang, pengangguran, hidup miskin dan
alasan-alasan lainnya yang tidak substantial.
Uraian
tersebut seharusnya mendorong kita semua untuk berpikir cerdas dan bijaksana,
sudah tepatkah pemerintah menetapkan 21 April sebagai hari Kartini? Lalu
bagaimana dengan pejuang-pejuang perempuan yang telah gugur di medan tempur?
Kapan kita dapat mengenang mereka layaknya R.A. Kartini? Bukankah mereka jauh
lebih besar pengorbanannya dibanding seorang R.A. Kartini? Silakan cari
jawabannya dengan berdasar pada fakta sejarah, dan bukan dogma dari dongeng
rekaan Kolonial.
Tersohornya
R.A. Kartini sebagai penggerak emansipasi wanita Indonesia sangat mungkin
terjadi akibat propaganda Orientalis-Belanda yang licik. Hal ini dilihat dari
upaya H.H. van Kol, C.Th. van Deventer, Snouck Hurgronje, Estella Zeehandelaar,
Ny. Abendanon dan lainnya yang merupakan aktifis Orientalis-Belanda dalam
mengekspos curhat Kartini melalui media dan buku-buku untuk menebar
pertentangan dan perpecahan (Devide at Impera). Atau juga sebagai ajang
akulturasi nilai-nilai budaya Belanda untuk menjamah struktur nilai dan budaya
Indonesia agar dapat tunduk bersimpati kepada kolonial Belanda.
Apologetik
yang cukup sukses dari bangsa Belanda sehingga sampai sekarang meski hampir
seabad Indonesia merdeka, kuku-kuku Kolonialisme masih menancap di tanah air
kita ini. Kartini sebagai kader kolonial (karena banyak berhubungan dengan
tokoh Belanda saat itu) memiliki kegemaran curhat yang sampai detik ini menjadi
budaya generasi bangsa kita.
Sehingga
wajar jika Kartini menjadi pahlawan emansipasi karena kegemarannya yang suka
curhat. Sesuatu yang tidak dilakukan oleh Malahayati, Dewi Sartika, Rohana
Kudus, Laswi, Jo Paramitha, Siti Aisyah We Tenriolle, Nyai Walidah Ahmad
Dahlan, Ny. Sunarjo Mangunpuspito dan pahlawan wanita lainnya ketika
memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Tulisan
ini tidak bermaksud memojokkan siapapun, hanya menyayangkan jika popularitas
Kartini sebagai pencetus gerakan emansipasi wanita di nusantara me-nafi-kan
silsilah perjuangan perempuan lainnya yang jauh lebih prestius sebelum masanya.
Karena itu, sangat disesalkan jika flatform perjuangan perempuan Indonesia
terbatas pada starting-point seorang sosok Kartini yang gemar curhat melalui
suratnya. Sementara Indonesia mempunyai segudang figur pahlawan perempuan yang
kuat, piawai, elegan, dan berbagai elemen superioritas lainnya.
Tidak
dapat dipungkiri jika bangsa Indonesia saat ini merupakan Negara berpenduduk
Islam terbesar di dunia dan sekaligus menjadi musuh utama Yahudi, doktrin
kesetaraan gender yang dibungkus emansipasi wanita gencar dilakukan demi
kehancuran umat dan bangsa ini.
Feminisme dan Kesetaraan Gender
Peringatan
hari Kartini juga sering digunakan kaum feminisme sebagai momentum kebebasan
wanita dari aturan hidup Sang Pencipta. Salah satu upaya nyatanya adalah
isu-isu RUU KKG (peraturan kesetaraan gender) yang diusung kaum feminisme demi
mewujudkan kesamaan untuk memperoleh akses, partisipasi, kontrol dan manfaat
antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang kehidupan.
Kesetaraan
gender inilah senjata ampuh dalam menjajah Indonesia di era modern sekarang,
karena bila RUU KKG ini disahkan maka akan hilang institusi Negara kita.
Hilangnya institusi melumpuhkan fungsi-fungsi struktural dalam suatu lembaga
pemerintahan, sehingga kehancuran bangsa tidak dapat terhindarkan.
Rosulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wassalam telah mengingatkan dalam hadistnya, yang artinya:
“Wanita itu tiang Negara, dan jika baik wanitanya maka jayalah Negara tersebut.
Sebaliknya jika buruk wanitanya maka hancurlah Negara tersebut.” Relakah kita
jika Indonesia ini hancur atau dijajah lagi?
Strategi
Belanda dalam melumpuhkan generasi bangsa kita sudah memasuki berbagai lini
kehidupan. Selain paham gendernya yang terus merebak kini, sejak dahulu Belanda
juga melakukan ‘pembaratan’ pejabat elite pribumi melalui dunia pendidikan.
Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam memiliki idealisme yang
tinggi, sehingga aktifis Orientalis-Belanda memanfaatkan keragaman adat dan
asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat untuk melemahkan
idealisme tersebut. Hasilnya, fakta sejarah bangsa kita banyak yang berisi
rekayasa dengan tokoh-tokoh pribumi yang telah menjadi boneka
Orientalis-Belanda.
Itulah
strategi dan taktik nyata penjajah untuk menaklukkan bangsa kita. Bahkan jika
kita cermati, strategi mereka kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader
orientalis dari kalangan ‘saudara kita’ sudah berjubel dan bergentayangan di
mana-mana. Hegemoni bangsa kita yang silau dengan peradaban Barat, langsung
atau tidak langsung menyeret kita ke bawah orbit peradaban yang sekuler.
Sangat
ironis, jika ada yang tidak sadar bahwa label kepahlawanan semu mampu merusak
pola pikir generasi bangsa, dan pada saat yang sama kita tetap mengelu-elukan
pahlawan-pahlawan tersebut atas perjuangan yang tiada noktahnya jua.
Lihat
remaja putri atau kaum perempuan saat ini, kehidupan yang bebas telah menyeret
sebagian besar mereka dalam kubangan seks bebas, aborsi, mabuk-mabukan,
diskotik, mengumbar aurat, serta kehidupan hedon lainnya. Bagi wanita karir
yang kebetulan sukses dengan gampangnya bergonta-ganti suami atau berselingkuh
karena merasa telah berjasa menghidupi diri dan keluarganya. Apakah ini yang
dinamakan produk emansipasi perempuan? Pantaskah bangsa Indonesia yang memiliki
norma budaya luhur mengadopsinya?
Distorsi
sejarah bangsa Indonesia sudah membentur tembok krusial dan saatnya direformasi
jika tidak ingin kita terus berada dalam dongeng klasik karya
Orientalis-Belanda. Generasi saat ini menanti dan merindukan pencerahan
nasional demi membuka wawasan berpikirnya membangun bangsa berperadaban. Dan
kurikulum pendidikan nasional memikul tanggung jawab besar dalam proses
aufklarung tersebut, karena bangku pendidikan adalah tempat mendoktrin
pemikiran yang efektif.
Sekali
lagi tulisan ini tidak ingin melukai perasaan siapapun, penghargaan tetap kita
berikan kepada Kartini baik yang terdahulu maupun Kartini-kartini masa kini
atas jasanya pada umat. Yang terpenting tidak ada lagi diskriminasi hari atau
apapun yang hanya meng-khusus-kan pada seseorang, walau sebesar apapun
pengorbanannya. Karena besar-kecilnya jasa seseorang telah dan akan mendapat
imbalan yang sesuai oleh Allah yang maha adil baik di dunia maupun di akhirat
kelak.
Sebagaimana
firman-Nya yang artinya : “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim,
laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang
sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS.
Al-Ahzab : 35).*
Penulis tinggal di Bogor
oOo
Sumber:
http://www.hidayatullah.com/read/22279/19/04/2012/menggugat-peringatan-hari-kartini.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar