Jumat, 23 Maret 2012

Islam Progresif dan Upaya Membumikannya di Indonesia

Posted by nahdliyinbelanda on September 29, 2007
Oleh: Sahiron Syamsuddin Dr.Phil

Meskipun substansinya tidak jauh berbeda dengan terma-terma lain, seperti “Islam Inklusif”, “Islam Transformatif” dan “Islam Liberal”, istilah “Islam Progresif” (Progressive Islam) merupakan istilah baru dalam kajian Islam kontemporer yang digunakan oleh para akademisi dan aktivis sejak beberapa tahun ini untuk memberikan label kepada pemahaman-pemahaman dan aksi-aksi umat Islam yang memperjuangkan penegakan nilai-nilai humanis, seperti pengembangan civil society, demokrasi, keadilan, kesetaraan jender, pembelaan terhadap kaum tertindas dan pluralisme. Di satu sisi pandangan dan aksi Islam Progresif, menurut Omid Safi, merupakan kelanjutan dan kepanjangan dari gerakan Islam Liberal yang muncul sejak kurang lebih seratus lima puluh tahun yang lalu. Namun, di sisi lain ia muncul sebagai bentuk ungkapan ketidakpuasan terhadap gerakan Islam Liberal yang lebih menekankan pada kitik-kritik internal terhadap pandangan dan prilaku umat Islam yang tidak atau kurang sesuai dengan nilai-nilai humanis. Sementara itu, kiritik terhadap modernitas, kolonialisme dan imprialisme justru tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari gerakan Islam Liberal. (Lihat Omid Safi 2005:1).

Kenyataan inilah yang memberikan inspirasi terhadap munculnya pemahaman dan aksi Islam Progresif, yang memberikan perhatian yang seimbang antara kritik internal dan kritik eksternal. Kritik internal terhadap tradisi pemikiran sebagian umat Islam yang tidak menitikberatkan pada aspek-aspek kehidupan humanis memposisikan gerakan Islam Progresif pada gerakan modernis, namun pada waktu yang bersamaan ia juga merupakan gerakan “postmodernis”, karena ia juga bersikap kritis terhadap modernitas yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan sejati dan kemanusiaan. Cara pandang, kritis dan aksi Islam Progresif semuanya hendaknya berorientasi kepada kemajuan. Atas dasar inilah ia disebut dengan istilah ‘progresif’. (Lihat Farish A. Noor 2006: 23). Artikel ini akan membahas secara singkat model-model pemikiran dan gagasan progresif yang dikemukakan oleh pemikir-pemikir Muslim dari beberapa negara, sehingga kita mendapatkan gambaran umum mengenai karakteristiknya. Artikel ini juga akan mencoba mengeksplorasi bagaimana pandangan-pandangan tersebut dapat membumi di Negara Indonesia.

II
Pandangan dan aksi humanis tentunya bukan barang baru di Dunia Islam. Sejarah Islam memberikan informasi yang jelas kepada kita bahwa Islam diturunkan ke bumi pada abad ke-7 M. dengan membawa misi-misi kemanusiaan, seperti perhatiannya terhadap hak-hak kaum wanita, penghapusan praktek perbudakan secara bertahap dan perhatian terhadap kaum lemah. Diwahyukannya Q.S. 4:11 merupakan salah satu contoh bahwa Islam memperhatikan dan menjunjung tinggi hak kaum wanita. Di dalam ayat ini Allah memerintahkan agar anak perempuan seperti halnya anak laki-laki diberi hak menerima harta warisan pada saat bangsa Arab saat itu konon tidak memberi wanita hak warisan sama sekali, bahkan menurut sebagian riwayat wanita justru diwariskan seperti harta benda. Sejarah juga menceritakan bahwa Nabi Muhammad Saw. memberikan kebebasan kepada kaum Nasrani dan Yahudi di Madinah untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan keagamaan mereka dan hidup bersama secara damai dengan umat Islam pada waktu itu. Konon Umar bin Khaththab melepaskan seorang pencuri tanpa diberi hukuman apapun ketika Umar mengetahui bahwa dia mencuri sesuatu dalam keadaan terpaksa. Sikap Umar dapat dipandang sebagai tindakan humanis progresif. Teori kemaslahatan yang dikembangkan oleh ulama ushul fiqh sebagai salah satu pertimbangan dalam memutuskan suatu hukum dan teori perubahan hukum atas dasar perubahan situasi dan kondisi juga membuka progresivitas hukum Islam. (Lihat misalnya Yudian Wahyudi 2006). Beberapa contoh di atas menunjukkan kepada kita bahwa Islam mengajarkan humanisme. Memang kita mendapati beberapa ayat al-Qur’an dan riwayat hadis yang tampak tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, seperti ayat-ayat tentang perang dan hadis tentang perlakuan yang tidak adil terhadap non-muslim, namun ayat-ayat tersebut terbuka untuk ditafsirkan secara proporsional (tidak hanya dipahami secara kata per kata) dan hadis-hadis semacam itu perlu diteliti kesahihannya dan atau ditafsirkan secara tepat dan mendalam. Hal ini merupakan tema yang memerlukan pembahasan khusus dan penulis tidak bermaksud memaparkannya secara terperinci dalam artikel singkat ini. Satu hal yang ingin ditegaskan di sini adalah bahwa gagasan-gagasan humanis yang marak pada masa sekarang ini bukan semata-mata gagasan impor dari Dunia Barat, melainkan juga merupakan pesan-pesan keagamaan yang juga berakar dalam tradisi Islam itu sendiri.

III
Pemikir-pemikir muslim progresif pada masa kini tersebar di berbagai negara. Di antara mereka yang bisa disebutkan di sini adalah Abdul Karim Soroush (Iran), Shirin Ebadi (Iran), Muhammad Shahrur (Suriah), Muhammad Habash (Suriah), Muhammad al-Talibi (Tunisia/Perancis), dan Fathullah Gülen (Turki/USA). Soroush berusaha membangun demokrasi di Iran yang disebutnya dengan “demokrasi relijius” yang merupakan respons terhadap sistem politik ala velayat-e faqih. Menurutnya, demokrasi merupakan buah dari pemikiran manusia yang didasarkan atas pemahaman-pemahaman rasional yang memuat nilai keadilan dan konsep-konsep hak asasi manusia. Karena itu, nilai-nilai demokratis harus diejawentahkan oleh umat Islam dalam menjalankan pemerintahan. Sistem politik tirani, baginya, bertentangan dengan hakekat dan martabat kemanusiaan. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa demokrasi tidak berarti memisahkan agama dari dunia poltik. Demokrasi justru dapat menjaga eksistensi dan ruang gerak agama. Umat dan lembaga-lembaga keagamaman seharusnya terpanggil untuk terlibat dalam diskursus-diskursus politik, sehingga nilai-nilai relijius dapat mempengaruhi gerak dan langkah manusia dalam berpolitik. Meskipun demikian, pandangan-pandangan keagamaan tidak boleh didikte oleh Negara dan tidak boleh dilaksanakan dengan cara pemaksaan. Nilai-nilai keagaman harus diperjuangkan dan dibawa oleh masyarakat sendiri dalam diskursus-diskursus politik dan sosial. (Roman Seidel 2006: 82-90).

Shirin Ebadi adalah pemikir dan aktivis kemanusiaan yang selalu memperjuangkan hak-hak asasi manusia, terutama hak-hak kaum wanita dalam berbagai bidang. Perjuangannya ini disemangati oleh pemahaman Islam yang progresif. Dia termasuk orang yang gigih menolak prilaku diskriminatif yang diatasnamakan agama, sebagaimana yang terjadi di negaranya. Pada saat dia menerima nobel perdamaian pada tanggal 10 Desember 2003, dia mengatakan: “Diskriminasi terhadap kaum wanita tidak mempunyai dasar di dalam Alquran.” Diperlakukannya kaum wanita saat ini secara tidak adil di banyak negara Islam tidaklah didasarkan atas ajaran Alquran, melainkan bahwa sampai saat ini penafsiran Alquran didominasi oleh kaum lelaki yang hanya ingin mengambil keuntungan darinya. Dia menegaskan: “Islam tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan penindasan terhadap kaum wanita. Islam mengandung keyakinan akan keadilan dan persamaan.” Ebadi juga mengatakan bahwa Islam tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan demokrasi. Pembelaannya terhadap hak-hak asasi manusia mendorongnya untuk selalu bersikap kritis, bukan hanya terhadap kebijakan-kebijakan negara-negara Islam, tetapi juga terhadap prilaku politik dalam dan luar negeri negara-negara Barat. Dia tidak segan-segan menentang kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat yang dipandangnya menodai nilai-nilai kemanusiaan. (Katajun Amirpur 2006: 190-198).

Perjuangan atas hak-hak asasi manusia dan pemikiran-pemikiran progresif lainnya juga dikemukakan oleh Muhammad Shahrur melalui karya-karyanya. Karyanya Mashru‘ Mithaq al-‘Amal al-Islami (1999) memuat prinsip-prinsip perjuangan umat Islam di masa sekarang ini, yang meliputi kebebasan berkehendak dan bertindak, pluralitas agama dan demokrasi. Semua ini merupakan hasil penafsirannya terhadap ayat-ayat Alquran dengan memperhatikan perkembangan ilmu dan pemikiran manusia kontemporer. (Shahrur 1999). Shahrur juga berusaha secara radikal membebaskan umat Islam dari keterkungkungannya oleh tradisi lama yang menurutnya tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Baginya, umat Islam harus membangun tradisi keagamaan baru dengan cara menafsirkan ulang teks-teks keagamaan, terutama teks-teks yang berkaitan dengan aspek-aspek muamalah.

Muhammad al-Habash, seorang agamawan dan politisi Suriah, memperjuangkan pembumian gagagasan progresif, baik melalui jalur politik di parlemen Syria maupun dengan media tulis. Dia menekankan perlunya pemahaman keislaman yang moderat, sehingga umat Islam bisa memerankan perannya di dunia internasional secara baik. Ide tentang unity of mankind (persatuan manusia) dengan berbagai macam keberagaman dan perbedaannya, gagasan demokrasi yang bernafaskan Islam dan ide anti-kekerasan dikumandangkan oleh direktur Islamic Studies Centre tersebut. Tentang unity of mankind al-Habash mengatakan secara tegas, “Semua manusia itu milik keluarga yang satu, yakni ‘keluarga Tuhan’”. Keyakinan ini mengarah pada pemahaman bahwa persaudaraan dan sikap saling memahami bukan hanya diterapkan antar umat yang seagama, melainkan juga antar umat-umat yang berbeda agama. Hal ini, menurutnya, merupakan syarat terciptanya prilaku demokratis dalam bidang politik khususnya dan prilaku sosial pada umumnya. Atas dasar inilah, dia menolak tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok fundamentalis yang menurutnya hanya satu persen dari jumlah penduduk dunia itu (Lihat al-Habash 2005; Kristin Helberg 2005). Selain itu, dia juga memperjuangkan hak-hak kaum wanita. Untuk tujuan ini dia dalam bukunya al-Mar’ah bayna al-Shari‘ah wa-l-Hayah menafsirkan ulang ayat-ayat Alquran tentang kepimimpinan, kesetaraan jender, poligami dan warisan. Di dalam buku ini dia juga mencoba mengangkat hadis-hadis Nabi yang menerangkan peran-peran kaum wanita pada masa sahabat dalam berbagai bidang, seperti politik, pendidikan dan ekonomi. Semua ini menunnjukkan bahwa betapa besar Islam pada zaman Nabi memberikan posisi terhormat kepada kaum wanita. (Lihat a-Habash 2001).

Ide tentang unity of mankind juga dikemukakan oleh pemikir Tunisia yang lama hidup di Perancis, yakni Muhammd al-Talibi, dalam bukunya ‘Iyal Allah (Keluarga Allah). Di sini dia menegaskan seharusnya umat Islam, Kristen dan Yahudi (dan juga umat-umat yang lain) bisa hidup berdampingan dan saling membantu dalam kehidupan politik, ekonomi dan sosial, karena mereka pada hakekatnya berada dalam satu keluarga, yakni “keluarga besar Tuhan”. Pandangan ini merupakan reaksi terhadap kenyataan hidup bahwa mereka saling mencurigai, paling tidak hingga saat ini. Jika kita mendapatkan sebagian ajaran Kitab Suci yang tampak bernuansa kekerasan dan bertentangan sikap toleran dan santun, maka, menurutnya, perlu ditafsirkan ulang secara histotis dan antropologis. Dalam hal ini dia mengangkat kembali satu bentuk penafsiran teks yang lebih menekankan pada perlunya memahami pesan-pesan moral dari teks keagaamaan, di luar makna literalnya. Pendekatan ini disebutnya dengan qira’a maqasidiya (pembacaan yang menekankan perhatian pada tujuan-tujuan inti teks). (Al-Talibi 1992; Ronald L. Nettler 2004: 225-239).

Beberapa pemikiran yang disebutkan di atas hanya beberapa contoh pandangan progresif. Meskipun terdapat perbedaan sisi penekanan, pemikiran progresif memiliki kesamaan dalam hal memperjuangkan nilai-nilai humanis, termasuk di dalamnya keadilan, kesamaan, kebebasan yang bertanggungjawab, anti-kekerasan dan perhatian pada realitas kehidupan. Selain itu, pemikir-pemikir progresif sepakat dalam hal perlunya penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan yang tampak bertentangan nilai-nilai humanis tersebut. Untuk membumikan pandangan-pandangan progresif, gerakan Islam Progresif telah dilembagakan dan di-“proklamirkan” untuk pertama kalinya oleh para intelektual dan aktivis Muslim yang hidup di Amerika Utara pada tanggal 15 November 2004 dengan nama Progressive Muslim Union (PMU; Persatuan Muslim Progresif). Mereka yang tergabung dalam organisasi ini memiliki keahlian keilmuan yang beragam. Di Asia Tenggara organisasi semacam ini belum ada, namun mereka yang mempunyai interes yang sama telah saling berkomunikasi lewat diskusi, seminar dan interaksi melalui mailing list.

Di Indonesia pandangan dan aksi humanis dari umat Islam pada dasarnya sudah lama dikemukakan dan diperjuangkan. Penolakan sebagian besar kyai NU, juga tokoh-tokoh Islam dari organisasi-organisasi yang lain, sejak tahun 1945 hingga sekarang untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam merupakan satu bentuk pemahaman keagamaan dan aksi humanis yang mempertimbangkan kenyataan pluralitas agama di Indonesia. Bahkan, jauh sebelum itu, pendekatan inklusif Sunan Kalijaga, seorang wali di Jawa, dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam di Jawa Tengah dan perjuangannya membela rakyat kecil bisa dikatakan sebagai cikal bakal gagasan dan aksi keislaman yang bernuansa humanis dan berorientasi ke depan pada masanya di Indonesia. Pada tahun 70-an dan 80-an gagasan-gagasan progresif dalam arti yang luas juga telah dikemukakan oleh intelektual-intelektual Indonesia, seperti Nurcholis Madjid dan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). (Lihat Greg Barton 1999). Pemikiran dan aksi pembelaan terhadap rakyat kecil dan kaum tertindas bahkan hingga saat ini masih tetap dilakukan dan diperjuangkan oleh Gus Dur secara konsisten.

IV
Pada tahun 2004 terdapat diskusi kecil antara Syafi’i Anwar, M. Nur Ichwan dan Zuly Qodir tentang prospek Islam Progresif. Diskusi ini dipublikasikan di Harian Kedaulatan Rakyat. Anwar dalam makalahnya menulis bahwa gagasan-gagasan Islam Progresif lahir di Malaysia. Sebagaimana Farish Noor, seorang intelektual muda berkebangsaan Malaysia, Anwar juga berpendapat bahwa gagasan-gagasan tersebut sampai saat ini belum membumi, dalam arti bahwa hanya populer di kalangan menengah ke atas, tapi belum diserap secara massif oleh masyarakat luas. Meskipun demikian, dia optimis bahwa gagasan-gagasan Islam Progresif suatu saat akan diterima oleh masyarakat banyak, dengan melihat kenyataan bahwa sebagian umat Islam adalah umat yang moderat. (Lihat Anwar, 08 Oktober 2004). Tentang Malaysia sebagai negara kelahiran gerakan Islam Progresif Ichwan tidak sepakat dengan Anwar. Dalam hal ini Ichwan beragumentasi bahwa sebelum berkembang di Malaysia gagasan-gagasan dan aksi-aksi progresif telah muncul di beberapa negara. (Lihat Ichwan, 09 Oktober 2004). Zuly Qodir berpendapat bahwa agar cara pandang progresif ini bisa membumi, agen-agen progresif harus berusaha dan mampu terjun langsung ke masyarakat untuk mengatasi problem-problem riil yang mereka hadapi, sehingga manfaat suatu gagasan dapat dirasakan langsung oleh mereka. Pendapat ini memang baik, tapi tidak mudah diterapkan, karena selama masyarakat belum bisa menerima pandangan-pandangan progresif, maka selama itu pula mereka mungkin tidak berkenan untuk melibatkan agen-agen progresif untuk turut menyelesaikan problem-problem sosial dan keagamaan yang mereka hadapi. Penulis berpendapat bahwa dalam rangka membumikan cara pandang dan aksi progresif paling tidak ada dua hal yang harus dilakukan.

Pertama, menyampaikan dakwah Islam progresif secara efektif. Dalam hal ini, kita harus terlebih dahulu mengenali elemen-elemen sosial yang ada di masyarakat kita sampai saat ini, yakni (1) pemimpin-pemimpin formal, (2) tokoh-tokoh masyarakat nonformal dan (3) anggota masyarakat pada umumnya. Pemimpin-pemimpin formal yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang mempunyai kekuasaan untuk mengambil keputusan formal dalam masyarakat, seperti kepala dan staf pemerintahan, kepala dan anggota dewan, dan partai-partai politik. Sementara tokoh-tokoh masyarakat nonformal adalah mereka yang dipandang mempunyai pengaruh di sebuah masyarakat, meskipun mereka tidak mempunyai jabatan pemerintahan ataupun politik tertentu, seperti kyai, ustadz, kepala dukuh, guru dll. Kita tahu bahwa dua elemen tersebut mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dalam masyarakat. Karena itu, gagasan-gagasan progresif sebaiknya dikomunikasikan kepada kedua elemen tersebut secara serius dan efektif, dengan tujuan bahwa kedua elemen tersebut pada suatu saat dapat membantu menyampaikan gagasan-gagasan tersebut kepada anggota masyarakat pada umumnya. Namun, tentunya hal yang harus dilakukan adalah bagaimana kedua segmen sosial tersebut dapat meyakini kebenaran gagasan-gagasan progresif. Dengan cara ini, gagasan-gagasan progresif akan lebih visible membumi dalam masyarakat. Salah satu contoh klasik yang bisa dikemukakan adalah keberhasilan memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia.

Sejak tahun 1945 hingga sekarang mayoritas pemimpin formal dan nonformal dalam masyarakat melihat fakta pluralitas bangsa Indonesia, baik dari segi agama, etnis, bahasa dan lain-lain. Fakta ini dipandang oleh mereka sebagai alasan diterimanya dan dipertahankannya Pancasila sebagai dasar negara untuk tetap memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Sikap inklusif dan toleran kaum Muslim Indonesia dalam hal penetapan dasar negara dengan tidak memaksakan kehendak menetapkan Syariat Islam sebagai dasar negara merupakan sikap progresif yang sudah barang tentu tidak terlepas dari peran para pemimpin dan tokoh umat Islam.

Kedua, menumbuhkan rasa kebersamaan antar sesama pemikir dan aktivis progresif dan antara mereka dan masayarakat secara luas. Rasa kebersamaan (Zugehörigkeitsgefühl), menurut Michael Hampe, merupakan salah satu prasyarat bagi eksistensinya setiap komunitas, termasuk komunitas keagamaan. “Rasa ke-kami-an” (“wir-Gefühl”) merupakan fitrah dan kebutuhan setiap manusia: “Kebutuhan untuk bergabung ke dalam suatu kelompok dengan tujuan mengembangkan suatu identitas kelompok tertentu dalam bentuk ‘rasa ke-kami-an’ dapat diarahkan oleh manusia untuk ‘mengabdikan dirinya’ kepada suatu komunitas keagamaan.” (Hampe 2002: 45). Rasa solidaritas antar agen-agen progresif dalam konteks ini tidak harus direalisasikan dalam bentuk pelembagaan Islam Progresif yang menghimpun seluruh komponen dalam satu wadah tertentu. Sebaliknya, agen-agen progresif bisa saja bertebaran di berbagai organisasi keagaaman yang sudah mapan di Indonesia, seperti NU dan Muhammadiyah, atau di lembaga-lembaga swadaya masyarakat, seperti Fahmina di Cirebon dan Nawesea di Yogyakarta. Secara prinsipil rasa solidaritas tersebut diwujudkan dalam bentuk saling memberikan perangkat-perangkat argumentatif untuk memperkuat pesan-pesan progresif. Namun, rasa solidaritas internal ini tidaklah cukup untuk membumikan gagasan-gagasan progresif ke dalam masyarakat. Atas dasar itu, rasa solidaritas juga harus tercipta antara pemikir dan aktivis progresif dan masyarakat pada umumnya dengan cara turut mengatasi problem ketidakadilan, penindasan, pelecehan dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar