Posted by nahdliyinbelanda on September 29, 2007
Oleh: Sahiron Syamsuddin Dr.Phil
Meskipun substansinya tidak jauh berbeda dengan terma-terma lain,
seperti “Islam Inklusif”, “Islam Transformatif” dan “Islam Liberal”,
istilah “Islam Progresif” (Progressive Islam) merupakan istilah baru
dalam kajian Islam kontemporer yang digunakan oleh para akademisi dan
aktivis sejak beberapa tahun ini untuk memberikan label kepada
pemahaman-pemahaman dan aksi-aksi umat Islam yang memperjuangkan
penegakan nilai-nilai humanis, seperti pengembangan civil society,
demokrasi, keadilan, kesetaraan jender, pembelaan terhadap kaum
tertindas dan pluralisme. Di satu sisi pandangan dan aksi Islam
Progresif, menurut Omid Safi, merupakan kelanjutan dan kepanjangan dari
gerakan Islam Liberal yang muncul sejak kurang lebih seratus lima puluh
tahun yang lalu. Namun, di sisi lain ia muncul sebagai bentuk ungkapan
ketidakpuasan terhadap gerakan Islam Liberal yang lebih menekankan pada
kitik-kritik internal terhadap pandangan dan prilaku umat Islam yang
tidak atau kurang sesuai dengan nilai-nilai humanis. Sementara itu,
kiritik terhadap modernitas, kolonialisme dan imprialisme justru tidak
mendapatkan perhatian yang cukup dari gerakan Islam Liberal. (Lihat Omid
Safi 2005:1).
Kenyataan inilah yang memberikan inspirasi terhadap munculnya
pemahaman dan aksi Islam Progresif, yang memberikan perhatian yang
seimbang antara kritik internal dan kritik eksternal. Kritik internal
terhadap tradisi pemikiran sebagian umat Islam yang tidak
menitikberatkan pada aspek-aspek kehidupan humanis memposisikan gerakan
Islam Progresif pada gerakan modernis, namun pada waktu yang bersamaan
ia juga merupakan gerakan “postmodernis”, karena ia juga bersikap kritis
terhadap modernitas yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan
sejati dan kemanusiaan. Cara pandang, kritis dan aksi Islam Progresif
semuanya hendaknya berorientasi kepada kemajuan. Atas dasar inilah ia
disebut dengan istilah ‘progresif’. (Lihat Farish A. Noor 2006: 23).
Artikel ini akan membahas secara singkat model-model pemikiran dan
gagasan progresif yang dikemukakan oleh pemikir-pemikir Muslim dari
beberapa negara, sehingga kita mendapatkan gambaran umum mengenai
karakteristiknya. Artikel ini juga akan mencoba mengeksplorasi bagaimana
pandangan-pandangan tersebut dapat membumi di Negara Indonesia.
II
Pandangan dan aksi humanis tentunya bukan barang baru di Dunia Islam.
Sejarah Islam memberikan informasi yang jelas kepada kita bahwa Islam
diturunkan ke bumi pada abad ke-7 M. dengan membawa misi-misi
kemanusiaan, seperti perhatiannya terhadap hak-hak kaum wanita,
penghapusan praktek perbudakan secara bertahap dan perhatian terhadap
kaum lemah. Diwahyukannya Q.S. 4:11 merupakan salah satu contoh bahwa
Islam memperhatikan dan menjunjung tinggi hak kaum wanita. Di dalam ayat
ini Allah memerintahkan agar anak perempuan seperti halnya anak
laki-laki diberi hak menerima harta warisan pada saat bangsa Arab saat
itu konon tidak memberi wanita hak warisan sama sekali, bahkan menurut
sebagian riwayat wanita justru diwariskan seperti harta benda. Sejarah
juga menceritakan bahwa Nabi Muhammad Saw. memberikan kebebasan kepada
kaum Nasrani dan Yahudi di Madinah untuk menjalankan ibadah sesuai
dengan keyakinan keagamaan mereka dan hidup bersama secara damai dengan
umat Islam pada waktu itu. Konon Umar bin Khaththab melepaskan seorang
pencuri tanpa diberi hukuman apapun ketika Umar mengetahui bahwa dia
mencuri sesuatu dalam keadaan terpaksa. Sikap Umar dapat dipandang
sebagai tindakan humanis progresif. Teori kemaslahatan yang dikembangkan
oleh ulama ushul fiqh sebagai salah satu pertimbangan dalam memutuskan
suatu hukum dan teori perubahan hukum atas dasar perubahan situasi dan
kondisi juga membuka progresivitas hukum Islam. (Lihat misalnya Yudian
Wahyudi 2006). Beberapa contoh di atas menunjukkan kepada kita bahwa
Islam mengajarkan humanisme. Memang kita mendapati beberapa ayat
al-Qur’an dan riwayat hadis yang tampak tidak sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan, seperti ayat-ayat tentang perang dan hadis tentang
perlakuan yang tidak adil terhadap non-muslim, namun ayat-ayat tersebut
terbuka untuk ditafsirkan secara proporsional (tidak hanya dipahami
secara kata per kata) dan hadis-hadis semacam itu perlu diteliti
kesahihannya dan atau ditafsirkan secara tepat dan mendalam. Hal ini
merupakan tema yang memerlukan pembahasan khusus dan penulis tidak
bermaksud memaparkannya secara terperinci dalam artikel singkat ini.
Satu hal yang ingin ditegaskan di sini adalah bahwa gagasan-gagasan
humanis yang marak pada masa sekarang ini bukan semata-mata gagasan
impor dari Dunia Barat, melainkan juga merupakan pesan-pesan keagamaan
yang juga berakar dalam tradisi Islam itu sendiri.
III
Pemikir-pemikir muslim progresif pada masa kini tersebar di berbagai
negara. Di antara mereka yang bisa disebutkan di sini adalah Abdul Karim
Soroush (Iran), Shirin Ebadi (Iran), Muhammad Shahrur (Suriah),
Muhammad Habash (Suriah), Muhammad al-Talibi (Tunisia/Perancis), dan
Fathullah Gülen (Turki/USA). Soroush berusaha membangun demokrasi di
Iran yang disebutnya dengan “demokrasi relijius” yang merupakan respons
terhadap sistem politik ala velayat-e faqih. Menurutnya, demokrasi
merupakan buah dari pemikiran manusia yang didasarkan atas
pemahaman-pemahaman rasional yang memuat nilai keadilan dan
konsep-konsep hak asasi manusia. Karena itu, nilai-nilai demokratis
harus diejawentahkan oleh umat Islam dalam menjalankan pemerintahan.
Sistem politik tirani, baginya, bertentangan dengan hakekat dan martabat
kemanusiaan. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa demokrasi tidak berarti
memisahkan agama dari dunia poltik. Demokrasi justru dapat menjaga
eksistensi dan ruang gerak agama. Umat dan lembaga-lembaga keagamaman
seharusnya terpanggil untuk terlibat dalam diskursus-diskursus politik,
sehingga nilai-nilai relijius dapat mempengaruhi gerak dan langkah
manusia dalam berpolitik. Meskipun demikian, pandangan-pandangan
keagamaan tidak boleh didikte oleh Negara dan tidak boleh dilaksanakan
dengan cara pemaksaan. Nilai-nilai keagaman harus diperjuangkan dan
dibawa oleh masyarakat sendiri dalam diskursus-diskursus politik dan
sosial. (Roman Seidel 2006: 82-90).
Shirin Ebadi adalah pemikir dan aktivis kemanusiaan yang selalu
memperjuangkan hak-hak asasi manusia, terutama hak-hak kaum wanita dalam
berbagai bidang. Perjuangannya ini disemangati oleh pemahaman Islam
yang progresif. Dia termasuk orang yang gigih menolak prilaku
diskriminatif yang diatasnamakan agama, sebagaimana yang terjadi di
negaranya. Pada saat dia menerima nobel perdamaian pada tanggal 10
Desember 2003, dia mengatakan: “Diskriminasi terhadap kaum wanita tidak
mempunyai dasar di dalam Alquran.” Diperlakukannya kaum wanita saat ini
secara tidak adil di banyak negara Islam tidaklah didasarkan atas ajaran
Alquran, melainkan bahwa sampai saat ini penafsiran Alquran didominasi
oleh kaum lelaki yang hanya ingin mengambil keuntungan darinya. Dia
menegaskan: “Islam tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan
penindasan terhadap kaum wanita. Islam mengandung keyakinan akan
keadilan dan persamaan.” Ebadi juga mengatakan bahwa Islam tidak
bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan demokrasi. Pembelaannya
terhadap hak-hak asasi manusia mendorongnya untuk selalu bersikap
kritis, bukan hanya terhadap kebijakan-kebijakan negara-negara Islam,
tetapi juga terhadap prilaku politik dalam dan luar negeri negara-negara
Barat. Dia tidak segan-segan menentang kebijakan politik luar negeri
Amerika Serikat yang dipandangnya menodai nilai-nilai kemanusiaan.
(Katajun Amirpur 2006: 190-198).
Perjuangan atas hak-hak asasi manusia dan pemikiran-pemikiran
progresif lainnya juga dikemukakan oleh Muhammad Shahrur melalui
karya-karyanya. Karyanya Mashru‘ Mithaq al-‘Amal al-Islami (1999) memuat
prinsip-prinsip perjuangan umat Islam di masa sekarang ini, yang
meliputi kebebasan berkehendak dan bertindak, pluralitas agama dan
demokrasi. Semua ini merupakan hasil penafsirannya terhadap ayat-ayat
Alquran dengan memperhatikan perkembangan ilmu dan pemikiran manusia
kontemporer. (Shahrur 1999). Shahrur juga berusaha secara radikal
membebaskan umat Islam dari keterkungkungannya oleh tradisi lama yang
menurutnya tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Baginya, umat
Islam harus membangun tradisi keagamaan baru dengan cara menafsirkan
ulang teks-teks keagamaan, terutama teks-teks yang berkaitan dengan
aspek-aspek muamalah.
Muhammad al-Habash, seorang agamawan dan politisi Suriah,
memperjuangkan pembumian gagagasan progresif, baik melalui jalur politik
di parlemen Syria maupun dengan media tulis. Dia menekankan perlunya
pemahaman keislaman yang moderat, sehingga umat Islam bisa memerankan
perannya di dunia internasional secara baik. Ide tentang unity of
mankind (persatuan manusia) dengan berbagai macam keberagaman dan
perbedaannya, gagasan demokrasi yang bernafaskan Islam dan ide
anti-kekerasan dikumandangkan oleh direktur Islamic Studies Centre
tersebut. Tentang unity of mankind al-Habash mengatakan secara tegas,
“Semua manusia itu milik keluarga yang satu, yakni ‘keluarga Tuhan’”.
Keyakinan ini mengarah pada pemahaman bahwa persaudaraan dan sikap
saling memahami bukan hanya diterapkan antar umat yang seagama,
melainkan juga antar umat-umat yang berbeda agama. Hal ini, menurutnya,
merupakan syarat terciptanya prilaku demokratis dalam bidang politik
khususnya dan prilaku sosial pada umumnya. Atas dasar inilah, dia
menolak tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok
fundamentalis yang menurutnya hanya satu persen dari jumlah penduduk
dunia itu (Lihat al-Habash 2005; Kristin Helberg 2005). Selain itu, dia
juga memperjuangkan hak-hak kaum wanita. Untuk tujuan ini dia dalam
bukunya al-Mar’ah bayna al-Shari‘ah wa-l-Hayah menafsirkan ulang
ayat-ayat Alquran tentang kepimimpinan, kesetaraan jender, poligami dan
warisan. Di dalam buku ini dia juga mencoba mengangkat hadis-hadis Nabi
yang menerangkan peran-peran kaum wanita pada masa sahabat dalam
berbagai bidang, seperti politik, pendidikan dan ekonomi. Semua ini
menunnjukkan bahwa betapa besar Islam pada zaman Nabi memberikan posisi
terhormat kepada kaum wanita. (Lihat a-Habash 2001).
Ide tentang unity of mankind juga dikemukakan oleh pemikir Tunisia
yang lama hidup di Perancis, yakni Muhammd al-Talibi, dalam bukunya
‘Iyal Allah (Keluarga Allah). Di sini dia menegaskan seharusnya umat
Islam, Kristen dan Yahudi (dan juga umat-umat yang lain) bisa hidup
berdampingan dan saling membantu dalam kehidupan politik, ekonomi dan
sosial, karena mereka pada hakekatnya berada dalam satu keluarga, yakni
“keluarga besar Tuhan”. Pandangan ini merupakan reaksi terhadap
kenyataan hidup bahwa mereka saling mencurigai, paling tidak hingga saat
ini. Jika kita mendapatkan sebagian ajaran Kitab Suci yang tampak
bernuansa kekerasan dan bertentangan sikap toleran dan santun, maka,
menurutnya, perlu ditafsirkan ulang secara histotis dan antropologis.
Dalam hal ini dia mengangkat kembali satu bentuk penafsiran teks yang
lebih menekankan pada perlunya memahami pesan-pesan moral dari teks
keagaamaan, di luar makna literalnya. Pendekatan ini disebutnya dengan
qira’a maqasidiya (pembacaan yang menekankan perhatian pada
tujuan-tujuan inti teks). (Al-Talibi 1992; Ronald L. Nettler 2004:
225-239).
Beberapa pemikiran yang disebutkan di atas hanya beberapa contoh
pandangan progresif. Meskipun terdapat perbedaan sisi penekanan,
pemikiran progresif memiliki kesamaan dalam hal memperjuangkan
nilai-nilai humanis, termasuk di dalamnya keadilan, kesamaan, kebebasan
yang bertanggungjawab, anti-kekerasan dan perhatian pada realitas
kehidupan. Selain itu, pemikir-pemikir progresif sepakat dalam hal
perlunya penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan yang tampak
bertentangan nilai-nilai humanis tersebut. Untuk membumikan
pandangan-pandangan progresif, gerakan Islam Progresif telah
dilembagakan dan di-“proklamirkan” untuk pertama kalinya oleh para
intelektual dan aktivis Muslim yang hidup di Amerika Utara pada tanggal
15 November 2004 dengan nama Progressive Muslim Union (PMU; Persatuan
Muslim Progresif). Mereka yang tergabung dalam organisasi ini memiliki
keahlian keilmuan yang beragam. Di Asia Tenggara organisasi semacam ini
belum ada, namun mereka yang mempunyai interes yang sama telah saling
berkomunikasi lewat diskusi, seminar dan interaksi melalui mailing list.
Di Indonesia pandangan dan aksi humanis dari umat Islam pada dasarnya
sudah lama dikemukakan dan diperjuangkan. Penolakan sebagian besar kyai
NU, juga tokoh-tokoh Islam dari organisasi-organisasi yang lain, sejak
tahun 1945 hingga sekarang untuk menjadikan Indonesia sebagai negara
Islam merupakan satu bentuk pemahaman keagamaan dan aksi humanis yang
mempertimbangkan kenyataan pluralitas agama di Indonesia. Bahkan, jauh
sebelum itu, pendekatan inklusif Sunan Kalijaga, seorang wali di Jawa,
dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam di Jawa Tengah dan perjuangannya
membela rakyat kecil bisa dikatakan sebagai cikal bakal gagasan dan aksi
keislaman yang bernuansa humanis dan berorientasi ke depan pada masanya
di Indonesia. Pada tahun 70-an dan 80-an gagasan-gagasan progresif
dalam arti yang luas juga telah dikemukakan oleh intelektual-intelektual
Indonesia, seperti Nurcholis Madjid dan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus
Dur). (Lihat Greg Barton 1999). Pemikiran dan aksi pembelaan terhadap
rakyat kecil dan kaum tertindas bahkan hingga saat ini masih tetap
dilakukan dan diperjuangkan oleh Gus Dur secara konsisten.
IV
Pada tahun 2004 terdapat diskusi kecil antara Syafi’i Anwar, M. Nur
Ichwan dan Zuly Qodir tentang prospek Islam Progresif. Diskusi ini
dipublikasikan di Harian Kedaulatan Rakyat. Anwar dalam makalahnya
menulis bahwa gagasan-gagasan Islam Progresif lahir di Malaysia.
Sebagaimana Farish Noor, seorang intelektual muda berkebangsaan
Malaysia, Anwar juga berpendapat bahwa gagasan-gagasan tersebut sampai
saat ini belum membumi, dalam arti bahwa hanya populer di kalangan
menengah ke atas, tapi belum diserap secara massif oleh masyarakat luas.
Meskipun demikian, dia optimis bahwa gagasan-gagasan Islam Progresif
suatu saat akan diterima oleh masyarakat banyak, dengan melihat
kenyataan bahwa sebagian umat Islam adalah umat yang moderat. (Lihat
Anwar, 08 Oktober 2004). Tentang Malaysia sebagai negara kelahiran
gerakan Islam Progresif Ichwan tidak sepakat dengan Anwar. Dalam hal ini
Ichwan beragumentasi bahwa sebelum berkembang di Malaysia
gagasan-gagasan dan aksi-aksi progresif telah muncul di beberapa negara.
(Lihat Ichwan, 09 Oktober 2004). Zuly Qodir berpendapat bahwa agar cara
pandang progresif ini bisa membumi, agen-agen progresif harus berusaha
dan mampu terjun langsung ke masyarakat untuk mengatasi problem-problem
riil yang mereka hadapi, sehingga manfaat suatu gagasan dapat dirasakan
langsung oleh mereka. Pendapat ini memang baik, tapi tidak mudah
diterapkan, karena selama masyarakat belum bisa menerima
pandangan-pandangan progresif, maka selama itu pula mereka mungkin tidak
berkenan untuk melibatkan agen-agen progresif untuk turut menyelesaikan
problem-problem sosial dan keagamaan yang mereka hadapi. Penulis
berpendapat bahwa dalam rangka membumikan cara pandang dan aksi
progresif paling tidak ada dua hal yang harus dilakukan.
Pertama, menyampaikan dakwah Islam progresif secara efektif. Dalam
hal ini, kita harus terlebih dahulu mengenali elemen-elemen sosial yang
ada di masyarakat kita sampai saat ini, yakni (1) pemimpin-pemimpin
formal, (2) tokoh-tokoh masyarakat nonformal dan (3) anggota masyarakat
pada umumnya. Pemimpin-pemimpin formal yang dimaksud di sini adalah
orang-orang yang mempunyai kekuasaan untuk mengambil keputusan formal
dalam masyarakat, seperti kepala dan staf pemerintahan, kepala dan
anggota dewan, dan partai-partai politik. Sementara tokoh-tokoh
masyarakat nonformal adalah mereka yang dipandang mempunyai pengaruh di
sebuah masyarakat, meskipun mereka tidak mempunyai jabatan pemerintahan
ataupun politik tertentu, seperti kyai, ustadz, kepala dukuh, guru dll.
Kita tahu bahwa dua elemen tersebut mempunyai pengaruh yang sangat
signifikan dalam masyarakat. Karena itu, gagasan-gagasan progresif
sebaiknya dikomunikasikan kepada kedua elemen tersebut secara serius dan
efektif, dengan tujuan bahwa kedua elemen tersebut pada suatu saat
dapat membantu menyampaikan gagasan-gagasan tersebut kepada anggota
masyarakat pada umumnya. Namun, tentunya hal yang harus dilakukan adalah
bagaimana kedua segmen sosial tersebut dapat meyakini kebenaran
gagasan-gagasan progresif. Dengan cara ini, gagasan-gagasan progresif
akan lebih visible membumi dalam masyarakat. Salah satu contoh klasik
yang bisa dikemukakan adalah keberhasilan memperjuangkan Pancasila
sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Sejak tahun 1945 hingga sekarang mayoritas pemimpin formal dan
nonformal dalam masyarakat melihat fakta pluralitas bangsa Indonesia,
baik dari segi agama, etnis, bahasa dan lain-lain. Fakta ini dipandang
oleh mereka sebagai alasan diterimanya dan dipertahankannya Pancasila
sebagai dasar negara untuk tetap memelihara persatuan dan kesatuan
bangsa. Sikap inklusif dan toleran kaum Muslim Indonesia dalam hal
penetapan dasar negara dengan tidak memaksakan kehendak menetapkan
Syariat Islam sebagai dasar negara merupakan sikap progresif yang sudah
barang tentu tidak terlepas dari peran para pemimpin dan tokoh umat
Islam.
Kedua, menumbuhkan rasa kebersamaan antar sesama pemikir dan aktivis
progresif dan antara mereka dan masayarakat secara luas. Rasa
kebersamaan (Zugehörigkeitsgefühl), menurut Michael Hampe, merupakan
salah satu prasyarat bagi eksistensinya setiap komunitas, termasuk
komunitas keagamaan. “Rasa ke-kami-an” (“wir-Gefühl”) merupakan fitrah
dan kebutuhan setiap manusia: “Kebutuhan untuk bergabung ke dalam suatu
kelompok dengan tujuan mengembangkan suatu identitas kelompok tertentu
dalam bentuk ‘rasa ke-kami-an’ dapat diarahkan oleh manusia untuk
‘mengabdikan dirinya’ kepada suatu komunitas keagamaan.” (Hampe 2002:
45). Rasa solidaritas antar agen-agen progresif dalam konteks ini tidak
harus direalisasikan dalam bentuk pelembagaan Islam Progresif yang
menghimpun seluruh komponen dalam satu wadah tertentu. Sebaliknya,
agen-agen progresif bisa saja bertebaran di berbagai organisasi
keagaaman yang sudah mapan di Indonesia, seperti NU dan Muhammadiyah,
atau di lembaga-lembaga swadaya masyarakat, seperti Fahmina di Cirebon
dan Nawesea di Yogyakarta. Secara prinsipil rasa solidaritas tersebut
diwujudkan dalam bentuk saling memberikan perangkat-perangkat
argumentatif untuk memperkuat pesan-pesan progresif. Namun, rasa
solidaritas internal ini tidaklah cukup untuk membumikan gagasan-gagasan
progresif ke dalam masyarakat. Atas dasar itu, rasa solidaritas juga
harus tercipta antara pemikir dan aktivis progresif dan masyarakat pada
umumnya dengan cara turut mengatasi problem ketidakadilan, penindasan,
pelecehan dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar