1. PENDAHULUAN
Hendak kemana arah sistem politik indonesia ? serta bagaimana proses pengambilan keputusan dalam persoalan-persoalan tertentu dapat diambil, merupakan suatu pertanyaan yang perlu dijawab. Soal ini telah mulai memasuki wilayah sistem pengelolaan politik.
Melalui penelaahan sejarah dan uraian deskriptif, kemudian akan tumbuh telaahan yang menuju kesimpulan (inferensial), untuk itu perlu dibahas segala persamaan dan perbedaan esensial
yang dapat menggenapi pandangan tentang sistem politik indonesia.
Merupakan suatu hal yang memberikan pemahaman serta pendidikan politik di Indonesia kendati telah banyak terjadi persitegangan antara pihak muslim, nasionalis, dan komunis. Pendidikan politik perlu suatu kesimpulan, yang dapat memberikan solusi buat permasalahan pergolakan politik di Indonesia ke arah kemajuan bangsa.
2. PEMBAHASAN
Adapun yang hendak dibahas disini adalah mengenai rentang pergolakan politik di Indonesia antara lain seperti yang terjadi :
1. Zaman Demokrasi Liberal
Di Indonesia demokrasi liberal berlangsung sejak 3 november 1945, yaitu sejak sistem multi-partai berlaku melalui maklumat pemerintah. Sistem multi-partai ini lebih menampakkan sifat instabilitas politik setelah berlaku sistem parlementer dalam naungan UUD 1945 periode pertama.
Demokrasi liberal dikenal pula sebagai demokrasi – parlementer oleh karena berlangsung dalam sistem pemerintahan parlementer ketika berlakunya UUD 1945 periode pertama, konstitusi RIS, dan UUDS 1950. dengan demikian demokrasi –liberal secara formal berakhir pada 5 juli 1959, sedang secara material berakhir pada saat gagasan Demokrasi –Terpimpin dilaksanakan melalui pidato Presiden di depan Konstituante tanggal 10 November 1956 atau pada saat konsepsi Presiden tanggal 21 Januari 1957 dengan dibentuknya Dewan Nasional, seperti telah di uraikan .
Dalam periode demokrasi – liberal ini ada beberapa hal yang secara pasti dapat dikatakan telah melekat dan mewarnai prosesnya, yaitu sebagai berikut :
A. Penyaluran tuntutan
Tuntutan terlihat sangat intens (frekuensinya maupun volumenya tinggi) dan melebihi kapasitas sistem yang hidup, terutama kapabilitas atau kemampuan mesin politik resmi. Melalui sistem multi-partai yang terus berkembang biak, penyaluran input-pun sangat besar, namun kesiapan kelembagaan belum seimbang untuk menampungnya. Timbulah krisis akibat meningkatnya partisipasi dalam wujud tuntutan itu kurang efektif berfungsi, karena “gatekeeper” (elit politik) belum mempunyai konsensus untuk bekerja sama, atau pola kerjasama belum cukup tersedia.
B. Pemeliharaan dan kontinuitas nilai
Keyakinan atas hak asasi manusia demikian tingginya, sehingga menumbuhkan kesempatan dan kebebasan luas dengan segala eksesnya. Ideologisme atau aliran pemikiran ideologis bertarung dengan aliran pemikiran pragmatik. Aliran pragmatik diilhami oleh paham / aliran sosial – demokrat melalui PSI, sedang yang ideologik diilhami oleh nasionalisme radikal melalui PNI..
C. Kapabilitas
Kekayaan alam dan manusia Indonesia ketika itu masih potensial sifatnya dan belum didayagunakan secara maksimal. Namun beberapa kabinet, sesuai dengan sifat pragmatik yang mengilhaminya, lebih menekankan pada pengolahan potensi tadi dan mengambil tindakan pengaturan distribusi.
Dalam kabinet yang beroreintasi pragmatik tadi, usaha bidang perekonomian lebih diarahkan pada pola ekonomi bebas, sedangkan pada kabinet yang lebih menonjolkan konsep kemakmuran lebih kentara dalam kabinet yang pragmatik, sedang konsep menuju keadilan mendapat perhatian kabinet yang ideologis. Hanya kabinet-kabinet tertentu saja yang mempunyai kapabilitas untuk menata perimbangan antara konsep keadilan dan konsep kemakmuran tersebut secara serasi.
D. Integritas
Terjadi hubungan antara elit dengan massa berdasarkan pola integrasi aliran. Integrasi aliran. Integrasi ini tidak selalu harus berati bahwa prosesnya dari atas (elit) ke bawah (massa) saja, melainkan juga dari massa ke kalangan elit berdasarkan pola paternalistic
E. Integrasi horisontal
Agak sukar mengatakan bahwa antara elit politik yang satu dengan elit politik lainnya terjalin integrasi yang dapat di andalkan. Kendatipun pernah terjadi semacam integrasi kejiwaan antar elit, tetapi akhirnya berproses ke arah disintegrasi juga. Di lain pihak, pertentangan antar elit itu bersifat menajam dan terbuka.
Kategori elit Indonesia yang disebut penghimpunan solidaritas (solidarity markers) lebih menampak dalam periode demokrasi-liberal itu. Walaupun demikian, waktu itu terlihat pula munculnya kabinet-kabinet yang terbentuk dalam suasana keselang-selingan pergantian kepemimpinan dalam mana kelompok administrator memegang peranan.
Kulminasi krisis politik akibat pertentangan antar elit demikian mulai sejak terbentuknya Dewan banteng, Dewan gajah, dan PRRI pada tahun 1958.
F. Gaya Politik
Bersifat ideologis, artinya lebih menitikberatkan faktor yang membedakan, sebabnya ialah karena ideologi cenderung bersifat kaku dan tidak kompromistik atau reformistik.
Adanya kelompok-kelompok yang mengukuhi ideologi secara berlainan, bahkan bertentangan pada saat berhadapan dengan kebuntuan penetapan dasar negara pada sidang konstituante.
Gaya Politik yang ideologik dalam konstituante ini oleh elitnya masing-masing dibawa ke tengah rakyat, sehingga timbul ketegangan dan perpecahan dalam masyarakat.
G. Kepemimpinan
Berasal dari angkatan Sumpah Pemuda yang lebih cenderung,belum permisif untuk meninggalkan pikiran-pikiran partenal, primordial terhadap aliran, agama, suku, atau kedaerahan .(dari sudut ini, Sumpah Pemuda tahun 1928 barulah merupakan ucapan dan ikatan resmi dan belum membudaya secara material pada waktu itu).
H. Perimbangan partisipasi politik dengan kelembagaan
1) Massa
Dapat dicatat bahwa partisipasi massa sangat tinggi ,sampai –sampai tumbuh anggapan bahwa seluruh lapisan rakyat telah berbudaya politik partisipasi. Anggapan bahwa rakyat mengenal hak-haknya dan dapat melaksanakan kewajibannya menyebabkan tumbuhnya deviasi penilaian terhadap peristiwa-peritiwa politik yang timbul ketika itu.
Percobaan kudeta dan pemberontakan, di mana di belakangnya sedikit banyak tergambar adanya keterlibatan / keikutsertaaan rakyat, dapat diberi arti bahwa kelompok rakyat yang bersangkutan memang telah sadar, atau mereka hanya terbawa-bawa oleh pola-pola aliran yang ada ketika itu.
2) Veteran dan Militer
Karena dalam periode tersebut pengaruh demokrasi-barat lebih dominan ,maka keterlibatan militer dalam arena politik (dalam hal ini partisipasi politik) tidak terlalu kentara. Justru supremasi sipilah yang menonjol ;salah satu indikator nya ialah :jabatan menteri pertahanan selalu dipegang oleh tokoh sipil.
Dalam periode itu pula ,militer yang mempunyai kepangkatan tertentu tidak diperbolehkan duduk dalam DPR melalui pemilihan umum. Tetapi partisipasi militer reguler tidak dibedakan dengan partisipasi kelompok sipil ,misalnya dalam hal hak pilih aktif dalam pemilihan umum.
Hanya beberapa kasus tertentu saja,a.1.peristiwa 17 oktober 1952, yang menyebabkan meningkatnya usaha militer untuk berpartisipasi aktif, dan beberapa tahun kemudian, menjelang pemilihan umum 1955, tumbuh partai politik yang pimpinannya terdiri atas eksponen militer. Tetapi ikatan korps antara purnawirawan dengan tentara reguler belum menunjukan keeratan seperti sekarang (lihat peranan Pepabri dll).
I. Pola Pembangunan Aparatur Negara
Diselenggarakan menurut pola yang bebas, artinya di tolerir adanya ikatan dengan kekuatan –kekuatan politik yang berbeda secara ideologis. Akibatnya fungsi aparatur negara yang semestinya melayani kepentingan umum tanpa perkecualiaan, menjadi cenderung melayani kepentingan golongan menurut ikatan primordial.
Pengangkatan pejabat, yang merupakan salah satu kewenangan eksekutif, di lakukan atas dasar senang dan tidak senang.maka tumbuhlah semacam sistem “anak emas” Loyalitas kembar anggota aparatur negara ,yaitu setia kepada golonganya dan setia kepada negara sekaligus ,adakalanya membuat mereka leluasa setia kepada negara sekaligus ,adakalanya membuat mereka leluasa dan dengan semena-mena mentorpedo kebijaksanaan pemerintah yang berkuasa. Perlu dicatat bahwa kesetiaan kepada negar dalam beberapa segi sama dengan kesetiaan kepada pemerintah ,karena dalam beberapa hal pula negara itu identik dengan pemerintah.
Pemerintah sebagai perwujudan negara tidak dalam segala kodisi identik dengan negar. Perbedaan konsep pandangan mengenai negara dan pemerintah ini dapat menajam dalam sistem multi-partai seraya menumbuhkan oposisi yang eksesif, tidak seperti konsep permaneni civil service di inggris yang disertai sistem dua partai.
J. Tingkat stabilitas
Akibat berinteraksinya variabel yang diuraikan dalam a sampai i, timbullah labilitas pemerintahan / politik yang kemudian menjadi sebab utama yang kemudian menjadi sebab utama keterlambatan pembangunan.
2.Zaman Demokrasi Terpimpin
Dalam periode demokrasi terpimpin ini pemikiran ala demokrasi barat banyak ditinggalkan. Tokoh politik (Soekarno) yang memegang pimpinan nasional ketika itu menyatakan bahwa demokrasi-liberal (demokrasi-parlementer) tidak sesuai dengan kepribadian bangsa indonesia. Prosedur pemungutan suara dalam lembaga perwakilan rakyat dinyatakannya pula sebagai tidak efektif dan ia kemudian memperkenalkan apa yang disebut musyawarah untuk mufakat.
Sistem multi partai oleh tokoh politik tersebut dinyatakan sebagai salah satu penyebab inefektivitas pengambilan keputusan ,karena masyarakat lebih didprong ke arah bentuk yang fragmataris.
Untuk merealisasikan Demokrasi-Terpimpin ini, kemudian dibentuk badan yang disebut Front Nasional. Periode ini disebut pula periode pelaksanaan UUD 1945 dalam keadaan ekstra-ordiner; disebut demikian, karena terjadi penyimpangan terhadap UUD 1945.
a.Penyaluran tuntutan
dalam periode ini pun masih berlanjut besarnya tuntutan yang melebihi kapasitas sistem. Setelah penyerdahanaan kepartaian dan pembentukan FN tersbut ,diperolehlah suatu stabilitas. kadar stabilitas ini dapat dinilai sebagai berwatak semu oleh karena ternyata kemudian tidak meletakkan dasar yang kuat dalam proses pergantian pimpinan nasional. Titik berat stabilitas itu lebih mengandalkan pada adanya tokoh politik yang dapat mengelola FN tersebut.
b.Pemeliharaan dan Kontinuitas Nilai
Sesuai dengan orientasi menuju satu nilai mutlak, maka secara konsisten pula hak asasi manusia sering dikesampingkan sebaliknya, mobilisasi kekuatan ke arah tujuan yang bernilai mutlak lebih digiatkan melalui Front Nasional (Amati dukungan untuk mengangkat Ir.Soekarno sebagai presiden seumur hidup yang sebenarnya inkonstitusional).
Dalam periode ini orientasi yang ideologis melalui indoktrinasi lebih mendapat angin ketimbang orientasi yang bersifat pragmatis. Karena konfigurasi yang sebenarnya dalam FN tersebut masih mengembangkan aneka ideologi masing-masing anggotanya, yaitu partai politik, maka konflik kecil dan konflik yang terselubung muncul keluar.
Bahwa tidak terjadi konflik ideologi yang lebih terbuka adalah karena pengaruh tokoh politik dalam menjaga keseimbangan antar-ideologi tersebut masih cukup efektif. Yang lebih berkecamuk ialah konflik kejiwaaan yang akhirnya meledak dan mengakibatkan hancurnya nilai sistemnya sendiri.
c.Kapabilitas
Serta merta dengan lebih diarahkannya aktivitas terhadap nilai-nilai yang bersifat mutlak,maka pemerintah cenderung untuk lebih berperan dalam mengelola bidang ekstraktif dan distributif.
Sejalan dengan nilai tersebut diatas , timbullah keterlibatan pemerintah dalam bidang perekonomian yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak (sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 yang bersifat normatif), ditandai dengan reaksi yang menentang kebebasan ekonomi yang diperoleh dalam periode demokrasi-liberal.
Perusahaan-perusahaan negara yang dibentuk dalam rangka pelaksanaan nasionalisasi beberapa waktu sebelum Dekrit Presiden, merupakan hal dirasakan sesuai dengan konsepsi Demokrasi-Terpimpin.
d.Integrasi vertikal
Dengan adanya intensifikasi pembangunan bangsa maka sifat primordial (daerah, kesukuan) dan pola aliran yang ada sebelumnya, secara formal dibatasi. Oleh karena itu,hubungan antara elit dari atas ke bawah, atas dasar pola saluran konvensional. Nyatalah dalam hal ini paternalisme dapat hidup lebih subur.
e. Integrasi Horizontal
Pertentangan antar-elit menyebabkan elit tertentu diisolir dan diasingkan secara politis. Dalam pertarungan ini elit yang biasa menghimpun solidaritaslah yang dapat muncul diarena politik, sehingga elit administrator tersisihkan. Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi sebagi wajah kaum Sosial-Demokrat dan Islam modernis yang juga berkaitan tenaga adminstrator kemudian di potong garis hidupnya.
f. Gaya Politik
Ideologi masih tetap mewarnai periode ini , walaupun sudah dibatasi secara formal melalui penpres tentang syarat-syarat dan penyerdahanaan kepartaian. (penpres. No.7-1959) Tokoh politik memperkenalkan gagasan Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom). Kompetisi Nasakomis masih dibenarkan, karena dalam kondisi tersebut tokoh politik dapat memelihara keseimbangan, ”jor-joran”
g. Kepemimpinan
Para pemimpin berasal dari Angkatan 1928 dan Angkatan 1945, dengan tokoh politik Soekarno sebagai titik pusatnya. Kepemimpinan tokoh politik ini berdasar pada politik mencari kambing hitam.
Karena sifat kharismatik dan paternalistiknya, tokoh politik ini dapat menengahi dan kemudian memperoleh dukungan dari pihak-pihak bertikai, baik dengan sukarela maupun terpaksa.
h. Perimbangan Partisipasi Politik dan Kelembagaan
1) Massa
Partisipasi dibatasi saluran inputnya,yaitu hanya melalui FN Untuk menunjukkan kesiapan kelembagaannya, maka di tumbuhkanlah output simbolik dalam bentuk rapat-rapat raksasa yang menguntungkan rezim yang berkuasa ketika itu.
Akibatnya ,partisipasi pad hakikatnya lebih besar daripada kesiapan kelembagaan pemerintahan. Hal ini dapat berarti daya responsif pemerintah dimanipulasikan melalui pambentukan dukungan sebagai kamuflase, yang oleh karena itu hanya bersifat maya (imaginer) belaka. Rakyat dalam rapat-rapat raksasa tidak dapat di anggap telah memeliki budaya politik sebagai partisipan, melainkan menunjukkan tingkat budaya politik kaula, karena diciptakan atas usaha dari rezim.
2) Veteran dan Militer
Sejak Denas dan FN terbentuk, penyaluran kepentingan bekas pejuang lebih meningkat. Organisasi bekas pejuang ini lebih dikenal dengan nama Angkatan 1945, yang termasuk golongan fungsional.
Di lain pihak, partisipasi militer mulai menampakkan diri dengan jelas , juga sejak pembentukan Denas dan FN . Indikator meningkatnya partisipasi ini ialah bertambah banyaknya jabatan penting dalam pemerintahan, yang biasanya dipegang oleh kaum sipil,kini dipegang oleh eksponen ABRI.
i. Pola Pembangunan Aparatur Negara
Loyalitas kembar pegawai negeri telah diganti dengan monoloyalitas, walaupun hanya terbatas pada tingkat kepangkatan tertentu saja (golongan F 1 ke atas) Artinya, pegawai negeri golongan F 1 ke atas harus menanggalkan keanggotaannya dari partai politik.
j. Tingkat Stabilitas
Stabilitas, ditinjau dari segi tersedianya jangka waktu yang cukup lama untuk melaksanakan program pemerintahan dan kotinuitas pemerintahan, sebenarnya cukup dapat menelurkan prestasi pembangunan. Namun stabilitas ini tidak diarahkan guna melancarkan pembangunan bagi kesejahteraan dalam arti luas.
3. Zaman Demokrasi Pancasila
Penelaahan terhadap Demokrasi-Pancasila tentu tidak dapat bersifat final disini , karena masih terus berjalan dan berproses Herbert Feith pernah menulis artikel yang berjudul suharto’s search for a political format pada tahun 1968, yaitu pada awal Demokrasi Pancasila ini diperkenalkan dan mulai dikembangkan. Oleh karena itu semua hal yang di kemukakan disini semata-mata hanya dalam usaha mencari format Demokrasi-Pancasila tersebut.
Praktek-praktek mekanisme Demokrasi –Pancasila masih mungkin berkembang dan berubah,atau mungkin belum merupakan bentuk hasil proses yang optimal, sebagai prestasi sistem politik indonesia.
a. Penyaluran Tuntutan
Dalam periode Demokrasi-pancasila ini (setidak-tidaknya sampai dewasa ini) penyaluran berebagai tuntutan yang hidup dalam masyarakat menunjukkan keseimbangan. Melalui hasil penyederhanaan sistem kepartaian ,muncullah satu kekuatan politik yang dominan.
Banyak akibat yang ditumbuhkan oleh pola penyaluran tuntutan semacam ini , yang dalam kenyataannya disalurkan secara formal melalui tiga kekuatan sosial politik ,yaitu: Golongan karya, Partai Persatuan Pembangunan (fusi NU,Partai Muslimin Indonesia, PSII, dan perti), dan Partai Demokrasi Indonesia (fusi PNI, Parkindo, Partai Katholik, IPKI, dan Partai Murba).
Secara material penyaluran tuntutan lebih dikendalikan oleh koalisi besar (cardinal coalition) antara Golkar dan ABRI, yang pada hakekatnya berintikan teknokrat dan perwira-perwira yang telah kenal teknologi modern.
Dalam sistem Demokrasi-Pancasila ini sudah tiga kali berlangsung pemilihan umum, yaitu tahun 1971 ,1977,dan 1982 . Dengan demikian penyaluran tuntutan secara formal-konstitusional telah terpenuhi.
b. Pemeliharaan dan kontinuitas Nilai
Hak asasi manusia berkali-kali ditegaskan oleh pemerintah bahwa hak itu secara implisit mengandung pula kewajiban asasi setiap anggota masyarakat. Dengan demikian . di samping ada parsipasi, tentu pula ada mobilisasi.
Ideologisme yang mengganas dalam masa dua sistem politik sebelumnya sekarang sudah dapat didinginkan atau setidak-tidaknya tak lagi menjadi ciri penyelanggaraan kontinuitas nilai berbagai kekuatan politik yang ada.
Gaya pragmatik telah ditonjolkan, sehingga konflik boleh dikatakan menurun sampai tingkat derajat yang cukup berarti untuk dicatat.
c. kapabilitas
Di bidang ekstratif dan distributif yang menyangkut moditi pokok, pemerintah mengambil peranan besar. Sedang yang menyangkut barang lainnya, menurut alam ekonomi yang bercorak lebih terbuka, yaitu disesuaikan dengan hukum-hukum ekonomi universal , pihak swasta pun dapat berperan .
Keterbukaan ekonomi ini merupakan kebalikan Ekonomi-terpimpin yang menghasilkan kelangkaan dalam berbagai kehidupan.
d. Integrasi Vertikal
Dewasa ini adanya saluran antara elit dengan dan sebaliknya , lebih dirasakan . begitu pula, terlihat adanya hubungan antara perencana (planner) dengan mereka yang direncanakan (planee),antara pemimpin dengan mereka yang di pimpin, antara pengelola dengan mereka yang dikelola. Melalui berbagai saluran. Komunikasi “dua-arah” dijalankan untuk mencapai integrasi vertikal antara pemerintah dengan rakyat dan antara elit dengan massa.
e.Integrasi horizontal
Hubungan antar-elit mulai menampak dalam usaha membentuk konsensus nasional dalam menyelenggarakan pembangunan melalui pola yang jelas.
f. Gaya politik
Gaya ideologik boleh dikatakan sudah hampir tidak manggung lagi, yang menonjol ialah gaya intelektuai yang pragmatik.
Melalui penyaluran kepentingan yang berorientasi kepada program dan pemecahan masalah.
g. Kepemimpinan
Bersifat legal artinya bersumber pada ketentuan-ketentuan normatif-konstitusional. ABRI sebagi titik pusat politik di Indonesia dewasa ini didukung oleh teknokrat.
h. Perimbangan Partisipasi Politik Dengan Kelembagaan
1) Massa
Partisipasi rakyat dikendalikan dan terbatas pada peristiwa-peristiwa politik tertentu saja, dalam pemilihan umum.
Hal ini disebabkan karena adanya konsepsi massa lepas/terapung/mengambang.
Partisipasi rakyat dalam keanggotanya kekuatan-kekuatan sosial politik dewasa ini lebih dijuruskan ke arah pembentukan golongan profesi.
2) Veteran dan Militer
Partisipasi kaum veteran meningkat melalui Angkatan 1945, sedang partisipasi tentara makin ,meningkat dengan adanya doktrin kekaryaan sesuai dengan Dwi Fungsi ABRI.
Partisipasi anggota ABRI dalam lembaga perwakilan/permusyawaratan rakyat dan dalam lembaga perwakilan rakyat tingkat daerah dilakukan melalui pengangkatan.
i. Pola Pembangunan Aparatur Negara
Dijuruskan pada usaha meningkatkan pelayanan kepada masyarakat atas dasar asas loyalitas terhadap negara. Isyu tentang peranan aparatur negara yang berorientasi kepada kepentingan nasional demi terjaganya integritas aparatur negara tersebut,mendapatkan wadah melalui organisasi-organisasi profesi diatas.
j. Tingkat stabilitas
Stabilitas meningkat melalui pendekatan keamanan (security approach) di samping pendekatan yang bersifat meyakinkan dan membujuk masyarakat. Yang hendak di capai dalam Demokrasi Pancasila ialah tumbuhnya stabilitas yang dinamik.
3. KESIMPULAN.
Pergolakan politik Indonesia khusunya di era orde lama dan orde baru telah banyak mengalami pasang surut dan stagnasi dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia baik dari peran eksekutif maupun legislatif dan yudikatif cenderung manipulatif dan hanya dijadikan pion untuk memperkuat kekuasasan legislatif. Perimbangan kekuasaan (power sharing) antara pemerintah dan pihak anti pemerintah (oposisi) cenderung tidak ada sama sekali baik itu di zaman demokrasi liberal, demokrasi terpimpin maupun di zaman demokrasi pancasila. Yang menarik dalam perbedaan antara pergolakan politik di era orde lama dan orde baru adalah tidak adanya dominasi politik diera orde lama yaitu di zaman demokrasi liberal, sementara di era orde lama zaman demokrasi terpimpin serta orde baru zaman demokrasi pancasila tampak pengaruh kekuasaaan eksekutif yang tak bisa disentuh oleh kekuatan politik manapun. Selama masa itu pula ABRI banyak berfungsi sebagai konsolidator politik antara pemerintah dengan masyarakat dimana ABRI berperan ganda baik sebagai kekuatan pertahanan keamanan maupun sebagai kekuatan sosial dan politik (dwifungsi ABRI).
4.DAFTAR PUSTAKA
• Kantaprawira,rusadi.Dr.SistemPolitikIndonesia,SuatuModel Pengantar,Sinar Baru Algesindo,Bandung,2006.
• Merriam, Charles, Systematic Politics, University of Chicago Press, Chicago,1957.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar