Biografi Sunan Giri
Sunan
Giri atau yang mempunyai nama lain Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul
Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra adalah nama salah seorang Wali Songo
yang berkedudukan di desa Giri, Kebomas, Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di
Blambangan (Banyuwangi) pada tahun Saka Candra Sengkala “Jalmo orek werdaning
ratu” (1365 Saka). dan wafat pada tahun Saka Candra Sengkala “Sayu Sirno
Sucining Sukmo” (1428 Saka) di desa Giri, Kebomas, Gresik.
Sunan
Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW; yaitu melalui jalur keturunan
Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far Ash-Shadiq, Ali
al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad Al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi
Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad
Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah
(al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar
al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa
Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.
Sunan
Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari
Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu penguasa wilayah
Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahiran Sunan Giri ini
dianggap rakyat Blambangan sebagai pembawa kutukan berupa wabah penyakit di
kerajaan Blambangan. Kelahiran Sunan Giri disambut Prabu Menak Sembuyu dengan
membuatkan peti terbuat dari besi untuk tempat bayi dan memerintahkan kepada
para pengawal kerajaan untuk menghanyutkannya ke laut.
Berita
itupun tak lama terdengar oleh Dewi Sekardaru. Dewi Sekardadu berlari mengejar
bayi yang barusaja dilahirkannya. Siang dan malam menyusuri pantai dengan tidak
memikirkan lagi akan nasib dirinya. Dewi Sekardadupun meninggal dalam
pencariannya.
Peti besi
berisi bayi itu terombang-ambing ombak laut terbawa hinga ke tengah laut. Peti
itu bercahaya berkilauan laksana kapal kecil di tengah laut. Tak ayal cahaya
itu terlihat oleh sekelompok awak kapal (pelaut) yang hendak berdagang ke pulau
Bali. Awak kapal itu kemudian menghampiri, mengambil dan membukanya peti yang bersinar
itu. Awak kapal terkejut setelah tahu bahwa isi dari peti itu adalah bayi
laki-laki yang molek dan bercahaya. Awak kapalpun memutar haluan kembali pulang
ke Gresik untuk memberikan temuannya itu kepada Nyai Gede Pinatih seorang
saudagar perempuan di Gresik sebagai pemilik kapal. Nyai Gede Pinatih keheranan
dan sangat menyukai bayi itu dan mengangkanya sebagai anak dengan memberikan
nama Joko Samudra.
Saat
mulai remaja diusianya yang 12 tahun, Joko Samudra dibawa ibunya ke Surabaya
untuk berguru ilmu agama kepada Raden Rahmat (Sunan Ampel) atas permintaannya
sendiri. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas
sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Sunan Ampel mengirimnya beserta
Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai sebelum
menunaikan keinginannya untuk melaksanakan ibadah Haji. Mereka diterima oleh
Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Di sinilah, Joko Samudra
mengetahui cerita mengenai jalan hidup masa kecilnya.
Setelah
tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden
'Ainul Yaqin diperintahkan gurunya yang tak lain adalah ayahnya sendiri itu
untuk kembali ke Jawa untuk mengembangkan ajaran islam di tanah Jawa. Dengan
berbekal segumpal tanah yang diberikan oleh ayahandanya sebagai contoh tempat
yang diinginkannya, Raden ‘Ainul Yaqin berkelana untuk mencari dimana letak
tanah yang sama dengan tanah yang diberikan oleh ayahanya. Dengan bertafakkur
dan meminta pertolongan serta petunjuk dari Allah SWT. maka petunjuk itupun
datang dengan adanya bukit yang bercahaya. Maka didatangilah bukit itu dan di
lihat kesamaanya dan ternyata memang benar-benar sama dengan tanah yang
diberikan oleh ayahnya. Perbukitan itulah yang kemudian ditempati untuk
mendirikan sebuah pesantren Giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti,
Kebomas, Gresik pada tahun Saka nuju tahun Jawi Sinong milir (1403 Saka).
Pesantren ini merupakan pondok pesantren pertama yang ada di kota Gresik. Dalam
bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan
sebutan Sunan Giri.
Pesantren
Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam
di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sumbawa,
Sumba, Flores, Ternate, Sulawesi dan Maluku. Karena pengaruhnya yang luas saat
itu Raden Paku mendapat julukan sebagai Raja dari Bukit Giri. Pengaruh
pesantren Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan yang disebut Giri.
Kerajaan Giri Kedaton menguasai daerah Gresik dan sekitarnya selama beberapa
generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat
beberapa karya seni tradisonal. Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan
Sunan Giri, di antaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Jor,
Gula-gantiLir-ilir dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental
Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.
Rerefernsi
:
-
http://indo.hadhramaut.info/view/2090.aspx
Biografi Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Agama
Islam menyebar di bumi nusantara dikabarkan dilakukan oleh para ulama yang kemudian
dianugrahi gelar Wali Songo. Dan Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim adalah
sosok ulama pertama yang diberi gelar sebagai Wali Songo. Sunan Gresik atau
Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo,
yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia
dimakamkan di desa Gapura, kota Gresik, Jawa Timur.
Tidak
terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik
Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli.
Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan
menisbatkan asal keturunannya dari Maghrib, atau Maroko di Afrika Utara.
Babad
Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim
as-Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim
Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand,
Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.
Dalam
keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan
kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal,
“Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari
Jenal Abidin, dan sepupu Raja Chermen (sebuah negara Sabrang), telah menetap
bersama para Mahomedans lainnya di Desa Leran di Jang’gala”.
Namun
demikian, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P.
Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan,
Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran
sekarang.
Terdapat
beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya
dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan Husain bin
Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi,
Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal,
Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib
Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat)
Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana
Malik Ibrahim.
Penyebaran
Agama
Maulana
Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan
agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior diantara para Walisongo
lainnya.
Beberapa
versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang
ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran,
Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai
menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid
pertama di desa Pasucinan, Manyar.
Pertama-tama
yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa
yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia
tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli,
melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama
Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke
dalam agama Islam.
Sebagaimana
yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana
Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang
dinamakan desa Roomo, Manyar.
Perdagangan
membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan
para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut
sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal.
Setelah
cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan
ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam
tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di
pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa
Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran;
mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota
Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia Barat.
Demikianlah,
dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan
ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang
merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat
ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan
agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat
setempat ramai berkunjung untuk berziarah.
Ritual
ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sesuai
tanggal wafat pada prasasi makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman
Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan
khas bubur harisah.
Legenda
Rakyat
Menurut
legenda rakyat, dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia.
Maulana Malik Ibrahim Ibrahim dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari
Maulana Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Maulana Ishaq disebutkan
menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau
Sunan Giri. Syekh Jumadil Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau
Jawa. Setelah itu mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa,
Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Maulana Ishak
mengislamkan Samudera Pasai.
Maulana
Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai
negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja
yang memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali
Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri
itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa,
kedua anaknya mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Maulana
Malik Ibrahim dalam cerita rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek
Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat
bawah, dan berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar
yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Selain
itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib,
diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal
dari Champa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Wafat
Setelah
selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419
Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan,
Gresik, Jawa Timur. Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama
Jalan Malik Ibrahim.
Referensi
:
-
http://satya89.wordpress.com/2010/01/01/sunan-gresikmaulana-malik-ibrahim/
Biografi Sunan Gunung Jati
Syech
Syarief Hidayatulloh dilahirkan Tahun 1448 Masehi. Ayahanda Syech Syarief
Hidayatulloh adalah Syarief Abdullah, seorang dari Mesir keturunan ke 17
Rosulullah SAW, bergelar Sultan Maulana Muhamad, Ibunda Syech Syarief
Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang dan setelah masuk Islam berganti nama
menjadi Syarifah Muda’im adalah Putri Prabu Siliwangi dari kerajaan Padjajaran.
Syech Syarief Hidayatullah berkelana untuk belajar Agama Islam dan sampai di
Cirebon pada tahun 1470 Masehi.
Syech
Syarief Hidayatullah dengan didukung uwanya, Tumenggung Cerbon Sri Manggana
Cakrabuana alias Pangeran Walangsungsang dan didukung Kerajaan Demak,
dinobatkan menjadi Raja Cerbon dengan gelar Maulana Jati pada tahun 1479.
Sejak itu
pembangunan insfrastruktur Kerajaan Cirebon kemudian dibangun dengan dibantu
oleh Sunan Kalijaga, Arsitek Demak Raden Sepat, yaitu Pembangunan Keraton
Pakungwati, Masjid Agung Sang Cipta Rasa, jalan pinggir laut antara Keraajaan
Pakungwati dan Amparan Jati serta Pelabuhan Muara Jati.
Syech
Maulana Jati pada Tahun 1526 Masehi, menyebarkan Islam sampai Banten dan
menjadikannya Daerah Kerajaan Cirebon. Dan pada Tahun 1526 Masehi juga tentara
Kerajaan Cirebon dibantu oleh Kerajaan Demak dipimpin oleh Panglima Perang
bernama Fatahillah merebut Sunda
Kelapa
dan Portugis, dan diberi nama baru yaitu Jayakarta.
Pada
tahun 1533 Masehi, Banten menjadi Kasultanan Banten dengan Sultannya adalah
Putra dari Syech Maulana Jati yaitu Sultan Hasanuddin.
Syech
Maulana Jati salah seorang Wali Sanga yang mempekenalkan visi baru bagi
masyarakat tentang apa arti menjadi Pemimpin, apa makna Masyarakatm, apa
Tujuan, Masyarakat, bagaimana seharusnya berkiprah di dalam dunia ini lewat
Proses Pemberdyaan.
Syech
Maulan Jati melakukan tugas dakwah menyebarkan Agama Islam ke berbagai lapisan
Masyarakat dengan dukungan personel dan dukungan aspek organisasi kelompok
Forum Walisanga, dimana forum Walisanga secara efektif dijadikan sebagai
organisasi dan alat kepentingan dakwah, merupakan siasat yang tepat untuk
mempercepat teresebarnya Agama Islam.
Syech
Maulana Jati berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 26 Rayagung tahun 891
Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1568 Masehi.
Tanggal
Jawanya adalah 11 Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491 Saka.
Meninggal
dalam usia 120 tahun, sehingga Putra dan Cucunya tidak sempat memimpin Cirebon
karena meninggal terlebih dahulu. Sehingga cicitnya yang memimpin setelah Syech
Maulana Jati.
Syech
Syarief Hidayatullah kemudian dikenal dengan Sunan Gunung Jati karena
dimakamkan di Bukit Gunung Jati.
Referensi
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar